2016/08/12

Pelangi

Sudah delapan tahun berlalu sejak kita pertama kali bertemu di toko musik itu. Kala itu aku sedang patah hati. Kamu datang membawa cahaya baru bagiku, tanpa kau sadari sampai saat ini. Lantunan lagu dari earphone-mu, masih sangat jelas terdengar ditelingaku hingga detik ini. Owl City - Deer In The Headlights.
"Kamu kenapa? Kok malah ngelamun liatin CD. Dengerin deh lagu ini"
Kamu. Entah siapa, entah darimana. Tersenyum bodoh padaku sambil menawarkan salah satu bagian earphone-mu.

Perkenalan aku dan kamu terjadi cukup singkat. Akhirnya aku tahu kalau ternyata, kamu saat di toko musik itu pertama kali melihatku. Cukup berani kamu langsung memberi earphone-mu itu pada perempuan yang belum kamu kenal. Walaupun aku sangat bersyukur atas kenekatanmu itu. Dalam beberapa minggu kita sudah sering menghabiskan waktu bersama. Saling menemani. Ke toko musik. Ke perpustakaan umum. Bahkan tak jarang kamu menjemput di pagi hari hanya untuk mengantar ke kampusku yang padahal jaraknya kurang dari satu kilometer dari rumah.

Dalam waktu sebentar saja, aku seperti sudah mengenalmu sejak lama. Kamu yang akan menunggu sampai aku masuk kedalam rumah ketika kamu mengantarkan. Kamu yang selalu menemani sampai aku dijemput Ayah. Kamu yang selalu khawatir dan selalu memberi semangat. Sosok yang hebat untuk melengkapi hariku. Lebih hebatnya lagi, aku bisa melupakan patah hatiku.

Malam itu, sudah terhitung tiga bulan sejak kita bertemu di toko musik. Kamu tiba-tiba mengajakku untuk makan malam disebuah restauran diluar kota. Indah memang pemandangannya. Obrolan kita sudah semakin jauh sampai kamu mengeluarkan earphone-mu lagi. Memberikan earphone itu padaku, lalu kamu menekan tombol Play pada handphone-mu. Aku tersenyum begitu mendengar alunan musik dan suaramu. Aku mencoba mendengarkan dengan baik lirik demi liriknya. Hingga tepuk tanganku menandai lagu itu sudah berakhir.
"Itu lagu baru kami. Ini aku yang lebih banyak menciptakan liriknya"
Pada saat itu juga kamu menyatakan perasaanmu. Ya.. Inilah waktunya aku mencoba memulai cerita baru dengan kamu.

***

Enam bulan setelah kamu menyatakan perasaanmulah, pertama kalinya kita bertengkar. Mempermasalahkan kesibukanku di kampus. Menyalahkan aku yang selalu pulang larut. Merasa aku tak punya waktu untukmu.
Sejujurnya menjadi mahasiswa tingkat dua memang melelahkan bagiku dan apakah kamu tidak menyadari kesibukanmu dikampus juga membuatku sedih? Kita semakin jarang berkomunikasi. Aku menyadari, pada saat itu baik aku ataupun kamu tidak ada yang mau mengalah. Tahukah kamu? Aku sempat begitu lelah dan ingin sekali mengakhiri hubungan ini. Tapi tepat pada saat itu, kamu ada didepan pintu rumahku. Kamu meminta maaf. Aku memaafkanmu.

***

Aku melewati masaku sebagai mahasiswa bersamamu. Mengerjakan deadline tugas bersamamu. Mengejar dosen untuk meminta tanda tangan bersamamu. Bahkan menghabiskan waktu di taman atau cafe untuk menyusun skripsi, juga bersamamu. Setelah aku dinyatakan lulus oleh pembimbing dan penguji, wajah berbinarmu hal pertama yang kulihat. Kamu pula yang menjadi pendamping wisudaku. Kamu takkan pernah tahu bagaimana aku sangat kesulitan menyampaikan rasa terimakasih dan rasa sayangku padamu, karena semua itu sudah tak bisa didefinisikan lagi. Hangatnya sinar matahari pagi telah dikalahkan hanya oleh senyumanmu.

Kesibukanmu sudah berubah. Begitupula aku. Kamu mulai sibuk di kantormu. Kamu memiliki kehidupan baru. Aku mulai kehilangan kamu. Tapi aku tidak tahu, apakah kamu juga merasa kehilanganku. Kita jarang sekali bertemu. Mungkin satu bulan tidak lebih dari dua kali. Hingga pada hari itu, disebuah tempat makan kesukaanmu...kita memutuskan untuk melanjutkan hubungan sebagai teman baik saja. Kamu hanya tidak pernah tahu, sebelumnya aku tidak pernah patah hati seperti ini, sampai untuk meneteskan air mata saja aku tidak sanggup. Dulu kamu yang membuat aku melupakan patah hatiku. Kini kamu yang memunculkan patah hati itu kembali, bahkan rasanya jauh lebih hebat.

***

Aku tidak pernah bisa sepenuhnya melupakan perasaanku padamu. Aku memang sudah mulai terbiasa menjalani hari tanpa kehadiranmu, tapi sedikit saja aku mendengar namamu disebut, aku tak bisa tak menoleh.
Aku juga belum berani menyambut ajakan lelaki untuk berkenalan. Bukan sekedar tidak berani, aku hanya masih mengharapkan lelaki itu kamu. Bukan orang lain. Aku sangat merindukanmu.

Aku memiliki cukup banyak teman lelaki di kantorku. Tapi hanya satu orang yang sering mengajakku makan siang atau sekedar membelikanku kopi di pagi hari. Mungkin yang lainnya tidak ingin berteman karena aku orang yang sangat tertutup. Toh akupun tidak keberatan karena itu.
Siang itu aku sedang berada di salah satu restoran siap saji bersama teman sekantorku. Ketika sedang mengantri untuk memesan makanan, handphoneku bergetar. Ada pesan baru yang berisikan namaku, hanya namaku saja. Pesan itu dikirim olehmu. Jantungku kembali terpacu dengan cepat. Makanan yang kubeli tidak sampai setengahnya kumakan. Temanku terus bertanya apa ada yang salah denganku, apa aku sakit, apa aku ada masalah. Temanku ini memang lelaki yang sangat baik, sangat peduli. Tapi suaranya yang berat itu hampir tidak kutangkap sama sekali. Aku meminta untuk segera kembali ke kantor, dengan masih terus menatap layar handphone dan mulai mengetik balasan.

***

"Kuingin cinta hadir untuk selamanya
Bukan hanyalah untuk sementara
Menyapa dan hilang
Terbit tenggelam bagai pelangi yang indahnya hanya sesaat
Tuk kulihat dia mewarnai hari

Tetaplah engkau disini
Jangan datang lalu kau pergi
Jangan anggap hatiku
Jadi tempat persinggahanmu
Untuk cinta sesaat

Kau bagai kapal yang terus melaju
Di luasnya ombak samudera biru
Namun sayangnya kau tak pilih aku jadi pelabuhanmu

Tetaplah engkau disini
Jangan datang lalu kau pergi
Jangan anggap hatiku
Jadi tempat persinggahanmu
Bila tak ingin disini
Jangan berlalu lalang lagi
Biarkanlah hatiku
Mencari cinta sejati
Wahai cintaku, wahai cinta sesaat"
Hivi, Pelangi.

Entah mengapa setiap aku mendengarkan lagu ini selalu terbayang aroma tanah dan udara setelah hujan, terbayang pula dedaunan yang masih basah oleh air hujan serta langit yang masih tertutup awan. Lagu ini terus mengalun lembut disela-sela perias yang sibuk memoleskan peralatannya di wajahku.

Ini hari pernikahanku. Pernikahan dengan lelaki pilihanku. Lelaki yang sudah sedari lama peduli dan memerhatikanku, yang sayang kepadaku. Lelaki yang bukan kamu. Cukuplah delapan tahun ini menjadi suatu cerita bagiku dan kamu. Cukuplah menjadi suatu memori indah sekaligus pahit bagiku. Dimulai dari hari ini, aku ingin kamu segera pergi dan membiarkan aku menemui cinta sejati, wahai cinta sesaatku. Terimakasih untuk segalanya.

Aku sudah mulai melangkah menuju meja tempat akad nikahku saat aku melihat kamu. Kamu hadir dipernikahanku, tak lepas-lepasnya kamu memandangku. Seketika, tangisku pecah begitu saja.