2013/07/12

Merelakan, memang menyakitkan.

Tiara memandang sesosok pria di hadapannya dengan tajam.

Ucapan Dimas terus bergaung di telinganya. "Cinta tak harus memiliki. Cinta harus merelakan, seperti katamu. Dan aku sedang berusaha merelakanmu sekarang. Ternyata, merelakan itu lebih sakit daripada yang dibayangkan, ya?"

Tiara ingin sekali berteriak, "Kalau nyatanya sekarang kita sama-sama merasa pedih untuk merelakan, mengapa kita harus merelakan? Tak bisa-kah kita bersama-sama saja? Biar pedih itu tak pernah ada."

Tapi Tiara tetap terdiam tanpa mengucapkan apapun. Otak dan hatinya sedang berlomba didalam dirinya, otaknya mengatakan untuk tetap diam, sedangkan hatinya mengatakan agar Tiara berlari dan memeluk Dimas.

"Bagiku cinta harus memiliki. Kalau kamu tidak berjuang atau mempertahankan, malah merelakannya begitu saja, yakin itu cinta?" Tiara membuka suara "Aku tau, merelakan itu sakit. Wajar, karena setiap perpisahan satu paket dengan kesedihan. Tapi, yasudahlah aku tidak takut untuk merelakanmu. Untuk apa aku takut merelakan seseorang yang sudah lebih dulu dengan mudahnya melepaskan?"

Tiara berbalik, meninggalkan Dimas yang tampak terkejut. Tiara yakin, jauh disana sudah ada seseorang yang bisa lebih baik, hadir untuk hidupnya. Seseorang yang tak akan dengan mudahnya melepaskan. Seseorang yang akan berjuang untuknya. Merelakan, memang menyakitkan. Tapi merelakan untuk kebahagiaanmu? Itu menyenangkan pada akhirnya.

Mungkin..

Malam itu, aku melemparkan handphone-ku dengan asal-asalan ke kasur. Sudah tak bisa dihitung oleh jemariku, berapa kali dia menolak ajakanku untuk keluar. Sudah berapa lama kami menjalin hubungan ini? Lebih dari tujuh bulan kami berpacaran, dan dia selalu menolak jika aku mengajaknya keluar. Apa sih yang salah dengan diriku? Apa yang membuatnya lebih memilih PlayStation nya itu ketimbang pacarnya sendiri? Ah sudahlah, malam minggu kali ini akan kelabu seperti malam minggu sebelumnya.

Itu belum seberapa. Aku yang harus terus sabar karena banyak perempuan-perempuan disekelilingnya. Ada juga beberapa perempuan yang kucurigai. Hingga akhirnya pada suatu pagi aku menemukan banyak sekali bukti yang menunjukan kalau dia memang benar memiliki hubungan khusus dengan perempuan lain. 
Aku mendatangi perempuan itu, menanyakan beberapa hal dan akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengannya.

Dua minggu setelahnya aku mendengar dia sudah memiliki kekasih yang baru. Playboy. Aku berusaha mencari tahu siapa perempuan malang yang terjebak oleh rayuan-rayuan gombalnya. Aku menduga perempuan yang yang kudatangi yang menjadi kekasihnya..ternyata? Bukan. Benar-benar playboy.

Dengan berbekal rasa penasaran, aku memberanikan diri untuk mengajak perempuan itu bertemu. Dan penilaian pertamaku adalah..perempuan itu terlihat, dewasa. Memang berbeda jauh denganku. Dengan jilbab yang ia kenakan, itu memang mempermanis penampilannya. Aku memperkenalkan diriku dan ia tidak tampak terkejut. Aku menceritakan beberapa hal mengenai kekasihnya itu, tentu dengan keburukan-keburukannya yang kuketahui. Anehnya, perempuan itu hanya terseyum dan kemudian berkata "yaa semoga saja aku dapat mengubah dia menjadi lebih baik." Aku tak habis pikir! Aku kira perempuan itu akan memutuskan untuk mengakhiri hubungannya.

Dan sekarang, sudah lebih dari dua tahun mereka bersama. Tanpa sedikitpun kudengar mantan kekasihku itu bermain mata dengan perempuan lain. Dan sering kudengar mantan kekasihku itu sering memberi kejutan-kejutan kecil untuk kekasihnya. Atau pergi keluar di akhir minggu. Sesuatu yang tak pernah ia berikan padaku. Aku tidak merasa cemburu, hanya saja aku merasa sedikit sesak untuk mengetahuinya. Mungkin, dia bukan playboy seperti apa yang kupikirkan. Mungkin, dia memang tak pernah menyayangiku seperti dia menyayangi kekasihnya yang sekarang. Mungkin, dulu aku yang memaksakan untuk bersama. Mungkin aku dulu seharusnya lebih sadar diri. Mungkin..