Tiara memandang sesosok pria di hadapannya dengan tajam.
Tapi Tiara tetap terdiam tanpa mengucapkan apapun. Otak dan hatinya sedang berlomba didalam dirinya, otaknya mengatakan untuk tetap diam, sedangkan hatinya mengatakan agar Tiara berlari dan memeluk Dimas.
Ucapan Dimas terus bergaung di telinganya. "Cinta tak harus memiliki. Cinta harus merelakan, seperti katamu. Dan aku sedang berusaha merelakanmu sekarang. Ternyata, merelakan itu lebih sakit daripada yang dibayangkan, ya?"
Tiara ingin sekali berteriak, "Kalau nyatanya sekarang kita sama-sama merasa pedih untuk merelakan, mengapa kita harus merelakan? Tak bisa-kah kita bersama-sama saja? Biar pedih itu tak pernah ada."
"Bagiku cinta harus memiliki. Kalau kamu tidak berjuang atau mempertahankan, malah merelakannya begitu saja, yakin itu cinta?" Tiara membuka suara "Aku tau, merelakan itu sakit. Wajar, karena setiap perpisahan satu paket dengan kesedihan. Tapi, yasudahlah aku tidak takut untuk merelakanmu. Untuk apa aku takut merelakan seseorang yang sudah lebih dulu dengan mudahnya melepaskan?"
Tiara berbalik, meninggalkan Dimas yang tampak terkejut. Tiara yakin, jauh disana sudah ada seseorang yang bisa lebih baik, hadir untuk hidupnya. Seseorang yang tak akan dengan mudahnya melepaskan. Seseorang yang akan berjuang untuknya. Merelakan, memang menyakitkan. Tapi merelakan untuk kebahagiaanmu? Itu menyenangkan pada akhirnya.
No comments:
Post a Comment