"Kita udah berapa lama sih ga ketemu? Setahun? Dua tahun?" Aku mencoba memecah kesunyian.
Ia tertawa sinis. "Ya engga lah, baru juga beberapa bulan."
"Ya tapi, kamu kaya ilang. Kaya ada di negeri antah berantah. Ngga ada kabar. Gatau, masih inget aku apa engga. Ya abis, dihubungi juga ngga bisa."
Ia terdiam lagi. Aku tahu ia tak bisa menjawab apa yang sebenarnya ada didalam hatinya. Akupun tak bisa menerka apa yang sebenarnya terjadi diantara kita.
"Kamu ngga pernah mau tau, kalo aku butuh kamu. Mungkin emang dari dulu rasa ini cuma searah ya." Aku menambahkan.
Lelaki dihadapanku kini menatapku, dalam. Bukan tak mau aku balik menatapnya, aku hanya tak sanggup. Matanya yang begitu tajam saat memandang, raut mukanya yang begitu serius. Dan kini, kumisnya yang bertambah tebal. Ah, rasa berdesir saat melihat pemandangan ini selalu tak bisa aku hindari dari dulu. Aku menunduk, mengaduk es teh manisku yang gulanya sudah larut.
"Kamu selalu ngga 'ngeh' ya. Dari dulu pas awal cuma rasa suka, sampe akhirnya begini. Kalau itu cuma satu arah, aku ngga akan bela-belain hampir setiap hari keluar malem, dingin, hujan. Cuma buat ketemu sama kamu."
Aku bukannya tidak menyadari semua, aku juga masih ingat hari-hari bahagia itu. Tertawa bersama sampai larut, bertukar pikiran sampai aku akhirnya dijemput. Suatu rasa yang sangat luar biasa. Perasaan bahagia itu masih terasa didalam diri ini.
"Aku tahu tapi... Kamu tak pernah benar-benar menunjukannya. Kau tahu? Sikapmu yang tiba-tiba berubah menjadi dingin seperti es! Dan kamu yang sering tiba-tiba menghilang, setelah kamu yang menjanjikan pertemuan!"
Aku hampir menangis. Rasa kesalku selama ini akhirnya meluap. Dengan suara sekecil mungkin, aku berusaha membuat ia mengerti apa yang aku rasakan.
"Oke. Aku minta maaf. Bukan inginku mengingkari janji tersebut..."
Ia mulai memegang tanganku. Jantungku berdetak semakin kencang karenanya.
"Kamu tahu kan, betapa sulitnya tersenyum untukmu dibalik punggung kekasihku saat itu? Dan aku yakin kamu sadar, dibalik tanganku yang merangkulnya, banyak dari hati ini menatap padamu. Aku mengkhawatirkanmu. Aku ingin tahu kabarmu."
Kini air mataku tak bisa dibendung lagi, karenanya genggaman tangannya padaku semakin kuat.
"Bukan inginku juga menghilang. Aku minta maaf. Kalau kau ingin tahu, aku sudah lama putus hubungan dengan dia. Jauh sebelum aku yang katamu menghilang."
Tangan kanannya mulai menyapu air mata ini. Tangannya yang kuat ini, terasa tak pernah meninggalkan ingatanku.
"Terimakasih jika kamu masih disini menungguku. Terimakasih telah sabar menanti."
Aku mulai bisa menguasai diri. Menghela nafas panjang yang melegakan.
"Susah banget ya buat kita ketemu. Ada aja halangannya. Kamu datang, aku diluar kota. Selalu begitu." Aku menggeleng-gelengkan kepala.
Senyumnya kembali merekah. Senyum yang paling kusukai. Senyum yang sudah lama kurindukan. Senyuman yang mampu membuat aku ikut tersenyum.
"Memang begitu kan? Terkadang kenyataan ngga selalu sesuai dengan keinginan. Terkadang kita perlu nunggu lebih lama buat ketemu sama orang yang kita sayang."
Dan aku yakin, genggaman tangan ini takkan terlepas lagi, untuk selamanya.
Ia tertawa sinis. "Ya engga lah, baru juga beberapa bulan."
"Ya tapi, kamu kaya ilang. Kaya ada di negeri antah berantah. Ngga ada kabar. Gatau, masih inget aku apa engga. Ya abis, dihubungi juga ngga bisa."
Ia terdiam lagi. Aku tahu ia tak bisa menjawab apa yang sebenarnya ada didalam hatinya. Akupun tak bisa menerka apa yang sebenarnya terjadi diantara kita.
"Kamu ngga pernah mau tau, kalo aku butuh kamu. Mungkin emang dari dulu rasa ini cuma searah ya." Aku menambahkan.
Lelaki dihadapanku kini menatapku, dalam. Bukan tak mau aku balik menatapnya, aku hanya tak sanggup. Matanya yang begitu tajam saat memandang, raut mukanya yang begitu serius. Dan kini, kumisnya yang bertambah tebal. Ah, rasa berdesir saat melihat pemandangan ini selalu tak bisa aku hindari dari dulu. Aku menunduk, mengaduk es teh manisku yang gulanya sudah larut.
"Kamu selalu ngga 'ngeh' ya. Dari dulu pas awal cuma rasa suka, sampe akhirnya begini. Kalau itu cuma satu arah, aku ngga akan bela-belain hampir setiap hari keluar malem, dingin, hujan. Cuma buat ketemu sama kamu."
Aku bukannya tidak menyadari semua, aku juga masih ingat hari-hari bahagia itu. Tertawa bersama sampai larut, bertukar pikiran sampai aku akhirnya dijemput. Suatu rasa yang sangat luar biasa. Perasaan bahagia itu masih terasa didalam diri ini.
"Aku tahu tapi... Kamu tak pernah benar-benar menunjukannya. Kau tahu? Sikapmu yang tiba-tiba berubah menjadi dingin seperti es! Dan kamu yang sering tiba-tiba menghilang, setelah kamu yang menjanjikan pertemuan!"
Aku hampir menangis. Rasa kesalku selama ini akhirnya meluap. Dengan suara sekecil mungkin, aku berusaha membuat ia mengerti apa yang aku rasakan.
"Oke. Aku minta maaf. Bukan inginku mengingkari janji tersebut..."
Ia mulai memegang tanganku. Jantungku berdetak semakin kencang karenanya.
"Kamu tahu kan, betapa sulitnya tersenyum untukmu dibalik punggung kekasihku saat itu? Dan aku yakin kamu sadar, dibalik tanganku yang merangkulnya, banyak dari hati ini menatap padamu. Aku mengkhawatirkanmu. Aku ingin tahu kabarmu."
Kini air mataku tak bisa dibendung lagi, karenanya genggaman tangannya padaku semakin kuat.
"Bukan inginku juga menghilang. Aku minta maaf. Kalau kau ingin tahu, aku sudah lama putus hubungan dengan dia. Jauh sebelum aku yang katamu menghilang."
Tangan kanannya mulai menyapu air mata ini. Tangannya yang kuat ini, terasa tak pernah meninggalkan ingatanku.
"Terimakasih jika kamu masih disini menungguku. Terimakasih telah sabar menanti."
Aku mulai bisa menguasai diri. Menghela nafas panjang yang melegakan.
"Susah banget ya buat kita ketemu. Ada aja halangannya. Kamu datang, aku diluar kota. Selalu begitu." Aku menggeleng-gelengkan kepala.
Senyumnya kembali merekah. Senyum yang paling kusukai. Senyum yang sudah lama kurindukan. Senyuman yang mampu membuat aku ikut tersenyum.
"Memang begitu kan? Terkadang kenyataan ngga selalu sesuai dengan keinginan. Terkadang kita perlu nunggu lebih lama buat ketemu sama orang yang kita sayang."
Dan aku yakin, genggaman tangan ini takkan terlepas lagi, untuk selamanya.
No comments:
Post a Comment