Juli, 2007
Aku terdiam cukup lama didepan gerbang sekolah ini. Mulai
hari ini aku resmi memakai seragam putih-biru. Iya! Aku sudah menjadi murid SMP
sekarang.
“Wish me luck!” ucapku dalam hati dan aku melangkah
melewati gerbang itu. Aku menyusuri lorong – lorong dan akhirnya menemukan
kelasku. Kelas yang cukup luas beralaskan karpet biru dengan dinding yang
ber-cat oranye.
Aku memilih tempat duduk barisan ke dua, jajaran ke
tiga. Dibelakangku sudah ada anak perempuan yang terlihat sangat sibuk dengan
jilbabnya. Aku duduk sampai ada bel tanda masuk dan kami bergegas pergi ke
lapangan, upacara pertamaku di SMP.
“Ah, ngga ada yang ganteng.” Aku melirik pada
barisan laki – laki disekitarku.
*
Tampaknya teman – teman baru ku ini menyenangkan. Dalam
waktu seminggu aku sudah berkenalan dengan beberapa orang dan sudah dekat
dengan beberapa orang juga. Ian salah satunya. Ian yang mengesalkan. Aku
mengenalnya memang seperti itu. Baru seminggu kita berkenalan dan ia sudah
membuatku kesal. Ian selalu menggangguku sampai aku harus mengejarnya sampai
keluar kelas. Bermain – main dengan semprotan pengharum ruangan atau dengan
cairan pembersih kaca. Begitu setiap hari.
Aku biasa datang pagi – pagi kesekolah, karena Ibu
yang menuntut pukul 06.30 harus sudah berangkat dari rumah. Hanya ada beberapa
anak yang sudah hadir. Biasanya kelasku masih kosong. Beberapa menit setelah
aku datang, selalu ada anak laki – laki kelas sebelah yang datang. Ia membuka
sepatu dan masuk ke kelasnya. Aku tak tahu ia siapa. Aku juga tak berani
bertanya dan mengajaknya mengobrol walaupun aku begitu bosannya menunggu teman –
teman sekelasku datang. Setelah itu, biasanya Hanni datang. Kemudian Ian,
kemudian.. Aku tak tahu lagi. Biasanya setelah Ian datang aku sibuk menghindar
dari tangan jahilnya.
*
“Aku Riani.” Perempuan berkulit putih itu mengenalkan
dirinya.
“Deane.” Aku menjabat tangannya.
Kami masuk satu cabang pengembangan diri yang sama,
Broadcasting. Kami sering siaran radio bersama, hingga akhirnya sering saling
mengunjungi rumah satu sama lain. Dan karenanya, aku menjadi dekat dengan
Riani. Lebih dari sekedar dekat, sebenarnya.
*
“Deane!”
“Hai Aji.” Aku terseyum
“Jajanin. Gope aja.” Candanya.
“Hahaha ayo aja sih.” Aku mengiyakan candaannya.
“Gope Deane.” Kata laki – laki itu, nyengir. Laki –
laki yang setiap pagi aku lihat datang dan melepas sepatunya kemudian masuk
kedalam kelas.
“Ya ayo kalo kamu mau ikut juga.” Aku tertawa dan mengangguk
kemudian melangkah menuju koperasi siswa.
“Deane unta terimakasih ya.” Aji berkata sambil
sibuk memakan jajanannya.
“Ih, gaperlu bilang kaya gitu deh.”
“Emang kenapa disebut unta?” tanya laki – laki itu.
“Lehernya panjang, liat aja.” Dan setelah Aji selesai
menjawab pertanyaan laki – laki itu aku sudah memukuli setiap bagian tubuhnya
yang bisa aku jangkau.
“Deane Dust Camel. Hahaha.” Laki – laki itu tertawa
dan anehnya aku tidak terganggu karena itu.
Dan lama kelamaan akhirnya aku tahu nama laki – laki
itu. Aku mendengar teman – temannya meneriakan namanya. Aku juga semakin sering
melihatnya, ia sering datang ke kelasku untuk saling pinjam buku pelajaran. Namanya,
Aldo.
No comments:
Post a Comment