Semesta memang hebat. Kita yang ternyata sama-sama tidak suka keramaian akhirnya bertemu.
Namun entah kapan pertemuan itu terjadi. Aku tak peduli.
Dan entah bagaimana, aku kini semakin sering menghabiskan waktu denganmu. Merangkai berbagai 'moment'. Menjadi sebuah kisah yang indah.
Aku mulai terbiasa dengan adanya hadirmu. Terbiasa dengan adanya kamu yang membuatku tertawa. Terbiasa dengan adanya kamu yang membuatku lupa aku mungkin dulu pernah se-bahagia ini.
"Lihat! Kereta api!" aku berseru.
"Iya..iya.." kamu, yang menanggapi dengan santai nya.
"Tuh keren kan? Apalagi saat ada asap mengepul dari cerobongnya."
Dan kamu tidak menanggapi apapun. Kamu hanya terdiam dan fokus pada jalanan yang sore itu cukup ramai.
"Aku tidak diperhatikan, yasudahlah." aku menggerutu dalam hati.
Aku menyukaimu.
Aku menyukai kamu yang tahu akan apa yang aku sukai. Bukan karena aku mengatakannya, tapi karena kamu memperhatikan.
Aku menyukai kamu yang tahu perkataan apa yang harus dilontarkan agar senyumku tak hilang.
"Ayo ikut. Kau tidak ada perlu apapun kan?"
"Kemana?"
"Berjalan-jalan saja. Main."
"Bohong. Aku tahu kau tidak suka pergi keluar untuk main."
Dan kau hanya terseyum menanggapi ke-tidak-percaya-an-ku dan kemudian menarik lembut tanganku.
"Ikut saja. Ayo."
Dan kamu membawaku ke sebuah stasiun kereta api di kota ini. Dan tiba-tiba aku merasa aku kembali pada masa lalu. Iya, dulu aku sering mengunjungi stasiun kereta api bersama orang tuaku. Bukan untuk bepergian tapi hanya untuk melihat gerbong-gerbong kereta api. Dan sesudahnya membeli jagung manis yang diberi susu dan keju. Selalu seperti itu. Dan setelah sekian lama, akhirnya aku bisa melihat gerbong-gerbong itu lagi.
"Kamu mau pergi?" tanyaku, pelan.
"Tidak...Aku hanya ingin mengajakmu kesini."
"Mengapa?"
"Karena kamu terlihat begitu suka pada kereta api."
"Begitu ya?"
"Iya. Apalagi saat pertama kali aku melihatmu menatap kereta api itu. Mobil kita berhenti tepat di depan palang kereta api, dan kamu memajukan tubuhmu untuk melihat kereta api itu. Padahal kamu duduk di jok depan."
"Aku tak tahu kau ternyata menyadari hal itu."
Lagi-lagi aku merasa kembali pada masa lalu. Aku yang akan pindah ke jok depan, dipangku oleh ibu atau ayahku jika berhenti tepat didepan palang kereta api.
"Kamu mau ngga jadi pacar aku?" tanyamu tiba-tiba. Aku kembali dari lamunanku dan mendapatimu berdiri menghadapku dengan tangan yang menggenggam setangkai mawar berwarna merah.
"Ini janji ku dulu padamu. Aku membawakan bunga asli untukmu. Bukan bunga plastik." lanjutmu. Aku masih terdiam.
"Aku ingin kita nanti seperti kereta api itu. Panjang. Kita akan memiliki kisah yang panjang dan yang membuatmu senang. Seperti kamu senang pada kereta api ini."
"Tapi kereta api ini mempunyai ujung."
"Lalu apa di dunia ini yang tak berujung? Aku ingin selalu bersamamu, tapi aku juga harus menyadari tak akan ada yang abadi."
"..."
"Dan kita harus pintar memanfaatkan waktu yang disediakan Tuhan untuk kita bersama. Sampai, suatu saat kita dipisah oleh ajal? Mungkin?"
"Iya...Tak ada yang abadi. Seperti kereta api yang panjang ini, tapi mempunyai sebuah ujung. Kita harus sadar dan siap akan adanya perpisahan suatu saat nanti." ucapku sambil memandang satu kereta yang mulai meninggalkan stasiun.
"Dan kita harus membuat ujung itu indah."
"Dan kita hanya boleh berharap, atau berkhayal sekali-kali. Tapi tidak mendahului takdir."
"Ayo. Kita juga harus bisa seperti kereta api itu. Keluar dari stasiun untuk melihat pemandangan indah. Dan pada akhirnya kembali lagi kesini."
Kita terdiam cukup lama setelah itu hingga aku berkata "Lalu, bagaimana bisa aku mengatakan tidak untuk pertanyaanmu yang tadi?" dan dunia berhenti saat kau menggenggam tanganku.
No comments:
Post a Comment