“Iya, aku udah di siap sedia di depan rumah. Lagi pake
sepatu, kamu dimana?” Tania menjawab sambil membetulkan earphone-nya. Sore ini
Tania diajak jalan putar kompleks oleh sohibnya, Dion.
“Ohh oke. Jangan lama yeeee.” Tania mengakhiri
pembicaraannya. Tak lama kemudian Dion datang dan Tania segera beranjak dari kursinya.
Lagu Good Time dari Owl City terdengar kencang dari
earphone Tania, “Heeeh parah! Sampe kedengeran gitu itu musik. Nggak kebayang
telinga kamu kayak apa ntar jadinya.”
“Masalah buat kamu?”
“Masalah lah! Lah aku ngajak kamu lari kan mau
curhat, kalo kamu terus-terusan pake barang yang nempel ditelinga kamu itu
gimana aku bisa cerita?” Dion berkata dengan jengkel. Melihat sahabatnya itu
Tania tertawa lalu mengecilkan volume musik dari handphone-nya.
“Oke. Ada masalah apa Tuan Dion yang Terhormat?”
“Bukan masalah sih sebenernya. Kamu kenal Anata?”
“Anak Sastra Jepang itu? Yang cantik, putih,
kecil-kecil imut, lemah lembut, hmm yang kayak aku banget ya?”
“Hiih kayak kamu apanya! Hueekk ” Dion menjawab
sambil berpura-pura muntah.
“Ih kamu kan emang pernah bilang aku cantik?”
“Kapan?”
“Pas acara perpisahan SMP kita. Kamu bilang, ‘Kamu
cocok pake baju itu’ sambil senyum!”
“Ada kata cantiknya? Enggak kaaaan? Gini nih ya,
cewek suka ngebesar-besarin..”
“Wahaha becanda Diooon. Aku tau ko kamu nggak pernah
liat aku sebagai cewek seutuhnya. Jadi? Kenapa sama Anata?”
“Enggak ada apa-apa sih. Cuma kemarin-kemarin aku
beberapa kali jalan bareng.” Dion menepi dan duduk di rerumputan. “But, yeah. Aku
sih berharap lebih, nggak tau dia gimana. Tapi, nggak tau. Aku nggak yakin aku
udah move on.”
“Labil amat mas! Kayak abege aja hahaha” Tania kini merebahkan dirinya di rerumputan. Dion
mengikuti gerakannya.
“Pokoknya ya…Pesen aku tetep sama. Kalo PDKT itu
jangan kelamaan, kasian ceweknya tau. Nunggu, tapi nggak jelas nunggu apa. Nah ntar-ntarnya
malah nunggu aja terus sampe bulukan. Pas udah bulukan, eh si cowok nembak, itu
perasaan si cewek udah ngelelep kedasar laut terdalam!”
“Pengalaman Mbak? Hahaha”
“Ih udah deh!” Tania mencubit lengan Dion.
“AW! Sakit tau! Jadi? Aku harus gimana?” Dion
mengusapp lengannya.
“Dengerin hati kamu.” Tania kini memejamkan matanya.
“Kamu tau nggak perasaan cewek kalo ada cowok yang hmm pokoknya kalau ada cowok
yang ‘he knows how to treat a girl’ or ‘he treats us like a princess’?”
“Enggak.”
“Aku tauuuu! And really this is an amazing feeling.”
Deretan gigi putih berbehel Tania terlihat.
“Lah nyengir? Haha siapa cowok yang treats you like
a princess?” Dion langsung terduduk.
“Yang pasti bukan kamu!”
“Siapa? Tau ah nggak cerita!”
“Ya inikan cerita… Namanya…Elang. Good name, isn’t
it? Dia temen sekelas aku di kampus, aku nggak tau gimana awalnya yang jelas
sekarang aku lagi deket sama dia. Dan kamu perlu malah harus tau kalo dia cowok
yang bener-bener baik, care, perhatian…haaaa kalau jadi pacarnya pasti bahagia
deh! Kemarin juga aku jalan sama dia.”
“Oh? Jadi bentar lagi ada yang mau jadian nih? Oke!”
“Dih ko sewot? Ko nggak seneng sahabatnya punya
gebetan? Nggak tau ah!”
“Pulang yuk. Udah sore, mendung juga.” Dion sudah
berdiri.
“Ih aku masih pengen disini.”
“Yaudah, aku duluan. Bye.” Berlari kecil, Dion
meninggalkan Tania yang masih berbaring di rerumputan.
~
Malamnya seperti biasa Tania pergi kerumah Dion
untuk belajar bersama. Atau lebih tepatnya untuk mengerecoki Dion yang fokus
pada tugas-tuganya. Atau yaaaa terkadang Tania menanyakan beberapa materi.
“Sesuai perjanjian ya, kalau malem…nggak ada
curhat-curhatan. Ini waktunya belajar. Dan nggak ada suara musik dari earphone
kamu. Dan…”
“Dan nggak ada Tania yang gangguin Dion. Entah itu
mukulin Dion atau cubit-cubit Dion. Oke.” Tania menyelesaikan perkataan Dion.
30 menit pertama Tania masih kuat diam dan
mengerjakan makalahnya. 30 menit kedua Tania bulak-balik mengecek
handphone-nya. Dan pada 30 menit ketiga Tania berkata, “Ini udah hampir satu
setengah jam Dion. Aku udahan ah ngerjain tugasnya. Capek! Tapi, aku mau cerita
ya, bukan curhat ko… Ya ya ya?”
“Yaudah silakan cerita, tapi aku sambil gambar ya…”
“Tau nggak? Temen-temen aku tuh pada nyangkain kita
pacaran loh. Pokoknya kamu itu terkenal banget di kelas aku. Padahal aku yakin
sebagian besar dari mereka nggak tau Dion itu yang mana.”
“Ohiya?” Dion kini meletakkan alat-alat gambarnya,
mulai memperhatikan Tania.
“Iya hahaha. Mereka tuh ya apa-apa nyebut Dion kalau
lagi ngomong sama aku. Terus ah pokoknya segala hal tentang aku pasti
disangkut-pautkan sama kamu.”
“Ko bisa sih? Hahaha”
“Nggak tahu deh hahaha. Tapi aku bete jadinya, ntar
gimana kalo Elang nyangkain kita beneran pacaran? Haaaa…”
“Bilang aja kita cuma sebatas temen Tan. Ohiya,
kalau kamu udah beres pulang gih, ada kamu aku nggak fokus, berisik.”
“Ngusir? Oke!” Tania membereskan buku-buku dan
laptopnya.
“Bukan… Ini udah malem kan? Kasian kamu kalau
kemaleman. Selamat malam Tania, istirahat ya.” Dion tersenyum
“Terserah.” Tania pergi tanpa menatap Dion lagi.
~
“Aku beteeee pokoknya. Biasanya juga Dion nggak
nyuruh aku pulang cepet gitu Kak…” Tania duduk disebelah kakaknya.
“Dia mau ujian kali Tan…”
“Ah enggak kok, biasanya mau ujian atau apa juga aku
nggak pernah diusir begitu.”
“Atau kamu yang duluan bikin dia bete. Bisa kan?”
“Tadi tuh aku lagi ngomongin soal aku yang disangka
pacar Dion, nah aku bilang aku takut Elang nyangka beneran, ntar dia mundur
gimana? Nah abis itu Dion nyuruh aku balik deh. Tapi ya Kak, yang aku nggak
ngerti… Dion kok nggak marah sih aku disangkain pacarnya? Pas aku bilang dia
malah ketawa-ketawa masaaaa.”
“Ya emang nggak harus marah kan?” Talia bertanya.
“Enggak sih ya mungkin karena emang kita deket. Tapi
kan dia juga lagi deket sama cewek. Kalo aku ya nggak suka lah Ka disangkain
begitu. Apalagi ya kalo yang nggak saling suka, kan suka jadi gimanaaaa gitu,
ngerti kan?”
“Dion juga kan nggak, nggak suka sama kamu?”
“Hah?”
“Dion emang suka kan sama kamu?”
“Ya tapikan itu dulu Kak… sekarang enggak”
“Siapa bilang? Perasaan itu nggak akan ilang Tan.”
Tania terdiam mendengar ucapan Kakaknya itu.
“Nanti aku mau bikin hukum kekekalan perasaan.” Tambah
Talia.
“Gimana persamaannya?” Tania menantang Kakaknya
untuk segera membuat persamaan dari hukum tersebut.
“Jadi gini, sayang + benci > 0. Dengan asumsi
benci adalah sesuatu yang benilai negative, maka… sayang – benci > 0.”
“Tapi nggak bisa gitu Kak!” Tania menyanggah. “Alasannya,
angka tidak bisa menilai besar sayang dan benci, maka… sayang – benci = ~. Tidak
terdefinisikan.”
“Kamu jadi pinter bikin persamaan ya? Hahaha” Talia
mengacak-acak rambut Tania.
“Aku sendiri aja takjub denger itu keluar dari mulut
aku. Hahaha. Tapi ya emang gitu Kak, suka, sayang, cinta, ataupun benci itu
nggak bisa dinilai besarnya. Nggak keliatan kaya gelombang suara, tau-tau ada,
tau-tau kerasa. Tapi ada sumber suaranya.”
“Nah itu…Dan kamu juga jadi tau kan? Dimana sumber
suara kamu itu?”
“…”
Inspired by: @afifahnurs
No comments:
Post a Comment