2014/09/26

Aku Bukan Matahari

Akupun tak menyangka bisa merasakan lagi hal-hal seperti ini.
Merasakan hangatnya jari-jariku yang digenggam erat olehnya. Merasakan hangatnya rangkulan darinya. Merasakan jantung yang berdetak lebih cepat saat akan bertemu dengannya. Merasakan perasaan salah tingkah dan mungkin dengan wajah yang memerah saat aku melihat tatapannya lurus, tajam, tertuju padaku. Merasakan pundaknya yang kini sering dibebani oleh kepalaku.

Mataku masih tak bisa lepas dari matahari sore ini. Begitu jelas, bulat, berwarna oranye kemerahan. Awan-awan disekelilingnya seakan mengerti untuk tetap berada di sekeliling matahari dan tidak menghalangi cahayanya.

"Sunsetnya bentar lagi..."
"Iya, semoga ngga ketutup awan ya."

Aku melihat sekeliling. Bangunan ini adalah satu-satunya bangunan tinggi yang dimiliki desa ini dan dari sini aku dapat melihat kuning-hijaunya sawah, gunung yang cantik di sebelah timur, rumah-rumah yang mulai menyalakan lampu pijarnya, dan..seringkali aku melihat bulan tepat berada di atas kepalaku, ditemani ratusan bintang yang bersinar terang.

"Kamu bawa sweaternya, Bi?'
Aku mengangguk dan mengeluarkan sweater itu.
"Pake. Ini anginnya udah makin kerasa."

Katakanlah aku begitu beruntung bertemu dengannya di tempat ini. Dengan banyaknya pekerjaan serta diri yang merasa sangat terisolasi disini, aku ternyata bisa bertahan. Iya, walaupun dengan tidak adanya televisi, listrik seadanya, air yang terbatas, bahkan sinyal telepon genggam yang tidak pernah muncul...ternyata aku masih bisa merasakan suatu hal yang disebut nyaman. Kalau boleh sombong, aku ingin mengumumkan pada dunia bahwa aku sedang berada pada titik ternyaman yang aku definisikan sebagai aku tidak merasa terbebani oleh apapun yang biasanya aku keluhkan. Mengetahui wujud seseorang yang selalu ada untuk aku dan aku sebisa mungkin juga selalu ada untuknya, mendengarkan cerita, berdiskusi untuk menyelesaikan masalah, atau sekedar untuk menjadi anak kecil yang manja...ya mungkin itulah salah satu alasan adanya rasa nyaman ini.

"Bianca..."
"Ya?"
"Kamu pulang minggu ini?"
"Iya. Jakarta udah kangen aku, hampir tiga bulan aku nggak pulang."
"Hmmm..."
"Empat hari aja kok. Hari Minggu aku udah kesini lagi."

Dalam empat hari itu saja aku yakin aku akan sangat merindukannya. Baru tiga sampai empat jam saja aku tidak melihat dia, entah ada perasaan apa tapi yang jelas aku ingin secepatnya bertemu kembali. Aneh memang. Seperti anak SMP yang baru bertemu cinta monyetnya. Menggelikan tingkahnya.

Matahari semakin turun meninggalkan semburat kemerahan di langit yang mulai gelap. Matahari itu sendirian, namun begitu indah. Sedangkan aku menemukan diriku kembali ke belakang, mengingat aku yang semakin terjatuh kedalam perasaan ini, kedalam kegelapan. Melupakan hal-hal penting, meninggalkan berkas-berkas data pasien di dalam kamar, kehilangan kunci, notes, dan banyak barang lain di setiap harinya. Tapi selalu ada dia disitu, dengan sabarnya menghadapi paniknya aku dan teriakanku saat aku menyadari aku melupakan sesuatu. "Kamu kalo panik jadi berantakan. Makanya, dibilangin sama aku aja. Kalo panik tetep aware!"
Atau saat aku kebingungan, harus memilih ini atau itu, harus berbuat ini atau itu, sesuatu yang tak bisa aku putuskan sendiri. Dia hadir lagi diantara kebingunganku kali ini. "Kalau kamu pilih itu, kamu bakal blablabla. Nah kalo kamu pilih ini kamu bakal blablabla". Memberi jalan keluar, bukan sekedar ucapan agar aku diam.

Aku bukan matahari yang bisa menjadi begitu indah walaupun hanya sendiri. Semakin lama semakin aku menyadari kalau aku membutuhkan seseorang yang bukan sekedar hadir untukku, tapi juga menemani setiap langkah, menyadarkan ketika salah. Aku bukan matahari dan aku bersyukur karenanya, aku memiliki dia.

"Mataharinya udah bener-bener hilang sekarang, Bi."
"Iya...untung aku bukan matahari."
"Maksudnya?"
"Yaa..gitu pokoknya."
"Pulang yuk. Udah gelap."

Aku malah semakin mendekat kepadanya, menyandarkan kepalaku dibahunya. Ia balas merangkul aku dan ini membuatku semakin malas untuk beranjak dari atap gedung ini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, jika aku dan dia sudah tidak sama-sama berada disini. Sebuah harap, jangan kemana-mana. Aku bukan matahari yang bisa sendiri. Aku bukan matahari yang dapat menyapanya dimanapun dia berada. Aku juga bukan matahari, yang menghangatkan namun berada jauh dengannya.

No comments:

Post a Comment