"Aku mau ketemu, boleh ya?" Suara itu lagi-lagi menghampiri telingaku.
"Ada apa?"
"Ada sesuatu yang harus kamu lihat."
"Aku sibuk."
"Please... Nggak akan lama kok. Janji deh." Suara itu masih tetap bersemangat.
"Aku gabisa, nggak ada waktu kosong."
"Di jam istirahat makan siang kamu deh. 5 menit aja. Ayo dong..."
Aku menghela nafas panjang, bingung menghadapi permintaan Harry.
"Oke. Besok ya, jam 5 sore aku udah dirumah."
"Thanks ya, Dee."
Klik. Aku segera mengakhiri pembicaraan agar tidak memanjang.
Entah mengapa sejak pagi aku merasa tak karuan. Aku memilih pulang cepat, pukul empat sore aku sudah berada dikamarku. Dan tepat pukul lima, aku mendengar deru motor Harry, detak jantungku semakin berpacu cepat. Aku mencoba membuat jantung ini berdetak dengan normal, namun sia-sia usahaku.
"Hai. Long time no see ya, Dee?"
"Hai." Aku masih belum sanggup menatap matanya.
"Kabar baik?"
"Hmm..."
"Nih. Aku bawa oleh-oleh buat kamu." Tak sengaja ia memegang tanganku saat menyerahkan sebuah kotak, perasaan seperti tersengat listrik itu muncul.
"Aku nggak minta oleh-oleh. Dan aku juga nggak tau kamu abis dari mana."
"Cinta itu, memberi tanpa pernah diminta dan tanpa paksaan."
"Nggak usah ngomongin cinta, Har." Aku menyimpan kotak itu di meja.
"Oke, sorry. Buka dong kotaknya."
Aku mulai membuka pita yang mengikat kotak kuning tersebut. Sebuah scrapbook. Aku membuka halaman pertama scrapbook tersebut. Foto bintang-bintang yang begitu indah, begitu banyak, berkilauan, dengan warna langit yang menakjubkan. Aku mulai tersedot ke dalam foto itu, meraih bintang-bintang yang bertebaran.
"Pertama aku melihat bintang itu, hanya satu dalam pikiranku. Kamu harus melihatnya juga. Aku harus menunjukan ini kepadamu. Aku mencoba mengabadikan kemilau bintang itu di kameraku. Dan kamu harus tahu itu sulit sekali. Berkali-kali aku gagal sampai teman-temanku mengatakan setelahnya moodku menjadi kurang baik. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk menghampiri tenda sebelah, untuk..yaaa sudahlah. Kalau aku ceritakan akan sangat panjang, dan yang penting akhirnya aku bisa menunjukan bintang-bintang ini."
Aku memang sangat menyukai foto itu. Dalam hati memang aku berkata bahwa bintangnya cantik, tapi bibirku masih terlalu kaku untuk mengutarakannya.
Di halaman selanjutnya, foto bunga...
"Edelweiss."
"Kamu abis dari..."
"Itu memang bukan edelweiss atau bunga Leontopodium yang ada di alpen sana, ini cuma Edelweiss Jawa. Tapi... ya aku harap kamu suka."
Aku tersenyum, walaupun masih menunduk menatap scrapbook, dan aku berharap ia tak melihat senyumku.
"Aku tahu kok, dapetin bunga ini nggak gampang. Aku tahu kok, butuh banyak perjuangan buat ini. Nggak sekedar petik di pinggir jalan."
Kini aku menatapnya. Menyimpan scrapbook itu, mendekatinya, kemudian mencubit lengannya.
"Apa-apaan sih kamu? Aku makin nggak tau kapan aku bisa berhenti jatuh cinta sama kamu kalau begini. Terimakasih, Har."
Aku melihat senyum ketulusan itu.
"Aku yang dicubit kenapa kamu yang nangis?"
Aku terdiam, Harry melanjutkan,
"Kamu nggak perlu berhenti jatuh cinta, Deeana. Di kotak itu, masih ada oleh-oleh lain. The real edelweiss, bukan hanya foto. Tapi maaf, aku nggak bisa bawa bintang-bintangnya."
"Nakal kamu! Nggak boleh petik bunga ini." Aku kembali mencubit lengannya. Untuk meluapkan perasaan ini.
"Sedikit ko Dee... I'll do everything for you. Dan menurut mitos, ini kan bunga abadi. Kalau kita kasih bunga itu, cintanya akan abadi."
"Aku udah bilang, jangan ngomong soal cinta." Aku mulai menjauh. Mengembalikan scrapbook itu kedalam kotak.
"Dua tahun itu bukan waktu yang singkat, Dee. Kalau kamu masih cinta, dan akupun begitu, malah lebih daripada kamu, kita bisa kan kembali lagi? Why not? Apa sih yang menghalangi perasaan kamu ini?" Harry mencoba meraih tanganku, aku menariknya.
"Apa? Harus berapa kali aku menyadarkanmu? Kita beda Har, kita beda. Tuhan kita berbeda. Nggak semua yang saling cinta itu bisa bersama."
"Dee..."
"Aku nggak mau jatuh cinta semakin dalam. Aku nggak mau membiarkan diri ini terjebak. Iya Har, dua tahun itu memang tidak singkat. Dan aku nggak mau lebih lama lagi. Aku takut aku semakin nggak bisa lepas dari kamu."
Harry terdiam dan aku mati-matian menahan air mata ini.
"Kalau kita sama-sama tahu pada akhirnya kita tak bisa bersama, untuk apa kita memperjuangkan ini? Silakan pulang Har, waktu lima menitnya sudah jauh terlewat."
"Dee..."
Harry beranjak, melewati pintu untuk pergi. Dalam waktu yang sama, hampir seluruh hati ini ikut melewati pintu itu. Hampir raga ini tak sanggup menahan untuk mengejar hati yang turut pergi, melayang ke langit yang penuh bintang. Saat aku menutup pintu, aku tak tahu bisa bertahan atau tidak. Cinta kita abadi Har...tapi bukan untuk bahagia.
"Ada apa?"
"Ada sesuatu yang harus kamu lihat."
"Aku sibuk."
"Please... Nggak akan lama kok. Janji deh." Suara itu masih tetap bersemangat.
"Aku gabisa, nggak ada waktu kosong."
"Di jam istirahat makan siang kamu deh. 5 menit aja. Ayo dong..."
Aku menghela nafas panjang, bingung menghadapi permintaan Harry.
"Oke. Besok ya, jam 5 sore aku udah dirumah."
"Thanks ya, Dee."
Klik. Aku segera mengakhiri pembicaraan agar tidak memanjang.
Entah mengapa sejak pagi aku merasa tak karuan. Aku memilih pulang cepat, pukul empat sore aku sudah berada dikamarku. Dan tepat pukul lima, aku mendengar deru motor Harry, detak jantungku semakin berpacu cepat. Aku mencoba membuat jantung ini berdetak dengan normal, namun sia-sia usahaku.
"Hai. Long time no see ya, Dee?"
"Hai." Aku masih belum sanggup menatap matanya.
"Kabar baik?"
"Hmm..."
"Nih. Aku bawa oleh-oleh buat kamu." Tak sengaja ia memegang tanganku saat menyerahkan sebuah kotak, perasaan seperti tersengat listrik itu muncul.
"Aku nggak minta oleh-oleh. Dan aku juga nggak tau kamu abis dari mana."
"Cinta itu, memberi tanpa pernah diminta dan tanpa paksaan."
"Nggak usah ngomongin cinta, Har." Aku menyimpan kotak itu di meja.
"Oke, sorry. Buka dong kotaknya."
Aku mulai membuka pita yang mengikat kotak kuning tersebut. Sebuah scrapbook. Aku membuka halaman pertama scrapbook tersebut. Foto bintang-bintang yang begitu indah, begitu banyak, berkilauan, dengan warna langit yang menakjubkan. Aku mulai tersedot ke dalam foto itu, meraih bintang-bintang yang bertebaran.
"Pertama aku melihat bintang itu, hanya satu dalam pikiranku. Kamu harus melihatnya juga. Aku harus menunjukan ini kepadamu. Aku mencoba mengabadikan kemilau bintang itu di kameraku. Dan kamu harus tahu itu sulit sekali. Berkali-kali aku gagal sampai teman-temanku mengatakan setelahnya moodku menjadi kurang baik. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk menghampiri tenda sebelah, untuk..yaaa sudahlah. Kalau aku ceritakan akan sangat panjang, dan yang penting akhirnya aku bisa menunjukan bintang-bintang ini."
Aku memang sangat menyukai foto itu. Dalam hati memang aku berkata bahwa bintangnya cantik, tapi bibirku masih terlalu kaku untuk mengutarakannya.
Di halaman selanjutnya, foto bunga...
"Edelweiss."
"Kamu abis dari..."
"Itu memang bukan edelweiss atau bunga Leontopodium yang ada di alpen sana, ini cuma Edelweiss Jawa. Tapi... ya aku harap kamu suka."
Aku tersenyum, walaupun masih menunduk menatap scrapbook, dan aku berharap ia tak melihat senyumku.
"Aku tahu kok, dapetin bunga ini nggak gampang. Aku tahu kok, butuh banyak perjuangan buat ini. Nggak sekedar petik di pinggir jalan."
Kini aku menatapnya. Menyimpan scrapbook itu, mendekatinya, kemudian mencubit lengannya.
"Apa-apaan sih kamu? Aku makin nggak tau kapan aku bisa berhenti jatuh cinta sama kamu kalau begini. Terimakasih, Har."
Aku melihat senyum ketulusan itu.
"Aku yang dicubit kenapa kamu yang nangis?"
Aku terdiam, Harry melanjutkan,
"Kamu nggak perlu berhenti jatuh cinta, Deeana. Di kotak itu, masih ada oleh-oleh lain. The real edelweiss, bukan hanya foto. Tapi maaf, aku nggak bisa bawa bintang-bintangnya."
"Nakal kamu! Nggak boleh petik bunga ini." Aku kembali mencubit lengannya. Untuk meluapkan perasaan ini.
"Sedikit ko Dee... I'll do everything for you. Dan menurut mitos, ini kan bunga abadi. Kalau kita kasih bunga itu, cintanya akan abadi."
"Aku udah bilang, jangan ngomong soal cinta." Aku mulai menjauh. Mengembalikan scrapbook itu kedalam kotak.
"Dua tahun itu bukan waktu yang singkat, Dee. Kalau kamu masih cinta, dan akupun begitu, malah lebih daripada kamu, kita bisa kan kembali lagi? Why not? Apa sih yang menghalangi perasaan kamu ini?" Harry mencoba meraih tanganku, aku menariknya.
"Apa? Harus berapa kali aku menyadarkanmu? Kita beda Har, kita beda. Tuhan kita berbeda. Nggak semua yang saling cinta itu bisa bersama."
"Dee..."
"Aku nggak mau jatuh cinta semakin dalam. Aku nggak mau membiarkan diri ini terjebak. Iya Har, dua tahun itu memang tidak singkat. Dan aku nggak mau lebih lama lagi. Aku takut aku semakin nggak bisa lepas dari kamu."
Harry terdiam dan aku mati-matian menahan air mata ini.
"Kalau kita sama-sama tahu pada akhirnya kita tak bisa bersama, untuk apa kita memperjuangkan ini? Silakan pulang Har, waktu lima menitnya sudah jauh terlewat."
"Dee..."
Harry beranjak, melewati pintu untuk pergi. Dalam waktu yang sama, hampir seluruh hati ini ikut melewati pintu itu. Hampir raga ini tak sanggup menahan untuk mengejar hati yang turut pergi, melayang ke langit yang penuh bintang. Saat aku menutup pintu, aku tak tahu bisa bertahan atau tidak. Cinta kita abadi Har...tapi bukan untuk bahagia.
No comments:
Post a Comment