Kalian percaya hidup bisa berubah dalam satu kedipan mata?
Semua berawal dari sekitar 30 menit yang lalu saat gue baru
saja sampai di sebuah restoran.
30 menit yang lalu…
“Mbak, ini waiting
list-nya cukup banyak.Mau cancel
atau tetep didaftarin aja?”
“Bakal lama banget ya Mbak?” tanyaku pada seorang waitress yang memegang list panjang antrian.
“Takutnya gitu Mbak. Soalnya ini banyak yang baru pada
dateng juga.”
Gue udah males banget cari tempat lain dan gue pengen banget makan di sini, akhirnya gue duduk
di kursi yang sudah disediakan, bersama beberapa orang bernasib sama.
*
Gue enggak percaya ada yang bisa mengubah hidup dalam satu
kedipan mata, sampai hari ini tiba-tiba gue makan malam dengan seorang
laki-laki yang sama sekali tidak gue kenal.
“Eh Dinda? Bareng gue aja, yuk?” tiba-tiba seorang lelaki
menepuk bahu gue. “Mbak, saya jadinya dua orang ya.” Lanjutnya pada waitress tadi dan langsung mengajak gue ke
dalam.
Nama gue bukan Dinda, for
your information.
“Ini lo nggak salah ngenalin orang kan?” itu pertanyaan
pertama gue pada lelaki yang sekarang sedang menarik kursi untuk gue tempati.
“Engga kok.”
“Tapi kayaknya gue bukan Dinda deh?”
“Yaaa sorry. Gue
bukan cenayang. Kenalin, gue Zarar.” Katanya sambil mengulurkan tangannya.
“Lo biasa makan bareng stranger
apa gimana nih?” gue menyambut uluran tangannya.
“Lo biasa mau aja langsung diajak makan sama stranger apa gimana nih? By the way, namanya kenalan tuh saling
sebut nama.”
“Afsheen.”
“Beneran bukan Dinda ternyata.”
“Gue nggak pernah loh, kenalan dengan cara begini.”
“Selamat kalo gitu. Selamat buat gue karena gue jadi yang
pertama.” Ujarnya sambil mengambil buku menu.
Sekarang kami terdiam di balik buku menu. Jujur, gue masih
belum bisa percaya sama cowo yang ada di hadapan gue ini. Gue masih takut dia
sebenernya ada niat jahat mau culik atau nipu gue. Apa gue udah dihipnotis ya
dari tadi?
“Gue ngajak lo biar lo nggak lama nunggu waiting list. Lagian kan gue sendirian
juga.”
Sumpah sumpah kenapa dia kayak bisa baca pikiran gue.
“Sudah siap pesan?” untungnya segera ada waitress yang datang ke meja kami.
“Pollo E Funghi satu
Mbak. Sama Sweet Ice tea satu.” Gue menyebutkan pesanan sambil menutup menu.
“Saya Cappuccino Chicken Kiev, Mbak. Es teh manisnya jadi dua. Makasih ya.”
“Asli Bandung?” Gue akhirnya membuka kembali obrolan setelah
kami berdua asik dengan handphone
masing-masing.
“Iya. Tapi sempet lama di Jakarta. Lo sendiri?”
“Asli Bandung dan sampe detik ini belum pernah ke kota lain
selain buat liburan.”
“Belum coba tinggal di luar kota apa emang nggak mau?”
“Lebih ke belum ada jalannya aja kali ya?”
“Kuliah? Kerja?” tanyanya.
“Muka gue masih cocok ya buat jadi anak kuliahan?” jawab gue
sambil pura-pura bercermin menggunakan handphone.
“Ya siapa tau lo anak kampus sebelah?” jawabnya sambil
menunjuk salah satu perguruan tinggi yang lokasinya tepat bersebelahan dengan
restoran ini.
“Iya sih. Gue mahasiswa situ, tapi sampe sekitar empat
tahunan lalu doang.”
“Gue juga.”
Setelah itu kami asyik bertukar cerita soal kampus. Nggak
bakal gue ceritain lebih lengkap karena banyak kisah mistis nanti kalian takut
dan selebihnya, percayalah kalian tidak akan tertarik.
Nggak lama dari situ makanan kami datang, atau mungkin lama,
tapi kami nggak nyadar karena asik tukar cerita.
“Gue tadinya mau pesen itu tapi ragu.”
“Agak unik sih emang. Ayam tapi pake coffee butter. Mau coba?”
Gue cuma diem denger tawarannya.
“Nggak gue racunin kok. Nih liat gue aja makan.”
“Hahaha boleh deh coba dikit.” Jawab gue akhirnya.
“Di lidah gue kok rasanya malah jadi kayak rawon gitu ya?”
“Gue nggak pernah coba rawon sih sebelumnya. Jadi buat gue
ini yaaa ayam pake kopi aja.” Jawab gue, sambil tertawa lagi.
“Lo harus coba sih. Rawon di Pringgodani.”
“Di mana?”
“Pringgodani. Dago. Enak banget rawonnya di situ.”
“Itu kayaknya restoran ayam goreng deh?”
“Eh nggak tau ya sekarang masih ada apa engga. Kalo jaman
dulu sih ada rawon di situ.”
“Tau nggak, dari semua menu di sini yang paling susah
masaknya apa?”
Gue cuma menggeleng.
“Salah satunya Beef
Wellington. Soalnya dia harus bisa mateng di tingkat kematangan yang
dipengen, tapi si kulit pastry-nya
harus pas warnanya coklat keemasan…”
Kali ini gue cuma mengangguk.
“Coffee butter di
makanan gue juga tricky banget. Kalo too much kopinya, nanti malah bikin
nggak seimbang sama garlic dan brokolinya.
Kalo sedikit banget ya nanti too
nauseated gitu loh. ”
“Lo sering masak ya?”
“Engga. Belum pernah malah. Gue sering aja nonton
acara-acara masak gitu di TV.”
“Tampak jago banget tapi ya…”
Setelah kami berdua menghabiskan makanan, kami memutuskan
untuk memesan makanan penutup.
“Aduh, udah jam 8 aja ya.” Gue kaget lihat angka di jam
tangan gue.
“Kenapa? Ada janji lagi?”
“Engga. Drakor yang lagi gue tonton hari ini episode
terakhirnya tayang gitu. Nanti sih jam sembilan biasanya.”
“Lagi nonton apa?”
“Vagabond.”
“Coba deh K2 ditonton juga. Dia setipe tuh sama Vagabond.
Drama lama sih tapi.”
“Bentar… Lo suka nonton drakor juga?”
“Yaaa… kalo ada yang lewat di TV, gue tonton aja sih. Seru
kok seru serius deh.”
“Okay. Gue masukin list.”
Gue tersenyum.
Makanan penutup yang kami pesan datang.
“Lo tau nggak sih, harusnya gue sekarang makan malem sama kenalan
gue di salah satu aplikasi. Kopdar gitu. Tapi dia batalin tepat saat gue nyampe
tempat parkir.” Kata Zarar
“Wah sorry ya. Jadinya
malah lo terjebak sama cewek yang baru aja lo kenal tadi di depan.” gue memasang
muka sedih.
“Nggak apa-apa lagi. Gue seneng kok dan kayaknya gue suka
sih, sama lo.”
“Wow… Kaget sih disukain sama stranger. But, thank you and I think I like you too…”
Kami tiba-tiba tersipu dan berusaha fokus pada makanan
penutup untuk menghindari situasi canggung lainnya. Gue bingung sama diri
sendiri yang anehnya bisa bilang suka sama orang yang baru gue kenal ini.
“Yuk bayar?”
Gue mengangguk.
“Abis ini langsung pulang?”
“Hmm… kayaknya iya. Mau nonton episode terakhir bareng?”
tawaran yang disertai dag-dig-dug dari gue.
“Boleh.” Jawabnya.
Tuhan, ini kali pertama gue bakal pulang sama stranger.
*
“ATAS NAMA AFSHEEN!”
“Iya Mbak.”
“Buat satu orang?”
“Iya.”
“Meja 34 ya. Masuk aja, lurus, belok kanan.”
“Makasih Mbak.”
Iya. Hidup nggak bisa berubah dalam satu kedipan mata.
Kalaupun bisa, itu hanya terjadi di kepalamu. Bahkan untuk berkhayal saja, gue
butuh 30 menit. Dari gue nyampe, daftar waiting
list, dan sekarang baru bisa dapet meja, hidup gue baru berubah karena
adanya Zarar. Ya tapi tetep, berubahnya Cuma dalam kepala gue.
Di kehidupan nyata, gue masih antri makan sendirian karena
pacar gue terlalu sibuk di kantornya. Padahal gue sama dia udah janjian dari
sebulan lalu buat makan di sini. Bahkan sebelumnya udah sering juga berantem
perkara dia yang kayaknya betah banget di kantor. Bahkan udah lebih dari dua
tahun momen kayak gini bisa selalu kejadian. Boro-boro satu kedipan mata. Setelah milyaran kedipan mata, hidup
gue masih gini-gini aja tuh. Hidup gue tetap nggak berubah.
Hidup nggak seasik FTV atau seromantis drama korea. Lebih
asik berkhayal punya kenalan baru dan lebih romantis berkhayal punya pacar kayak
Zarar.
Tapi ya pada akhirnya, apapun yang terjadi, gue tetap mau bertahan
sama pacar gue. Gue menyadari, akan ada hal yang harus gue toleransi dari pasangan.
Mungkin dia nggak bisa nemenin gue yang selalu pengen buru-buru coba kalau ada
tempat makan baru. Tapi gue tau, di luar ini, kalau gue bener-bener butuh dia,
dia bakal dateng meskipun lagi ribet di kantornya. Gue juga harus bisa nerima
kalau pacar gue berada ratusan kilometer jauhnya dari gue.
Dan hidup, nggak mesti bisa berubah dalam satu kedipan mata.
No comments:
Post a Comment