2013/04/26

Kereta Api

Semesta memang hebat. Kita yang ternyata sama-sama tidak suka keramaian akhirnya bertemu.
Namun entah kapan pertemuan itu terjadi. Aku tak peduli.
Dan entah bagaimana, aku kini semakin sering menghabiskan waktu denganmu. Merangkai berbagai 'moment'. Menjadi sebuah kisah yang indah.

Aku mulai terbiasa dengan adanya hadirmu. Terbiasa dengan adanya kamu yang membuatku tertawa. Terbiasa dengan adanya kamu yang membuatku lupa aku mungkin dulu pernah se-bahagia ini.

"Lihat! Kereta api!" aku berseru.
"Iya..iya.." kamu, yang menanggapi dengan santai nya.
"Tuh keren kan? Apalagi saat ada asap mengepul dari cerobongnya."
Dan kamu tidak menanggapi apapun. Kamu hanya terdiam dan fokus pada jalanan yang sore itu cukup ramai. 
"Aku tidak diperhatikan, yasudahlah." aku menggerutu dalam hati.

Aku menyukaimu. 
Aku menyukai kamu yang tahu akan apa yang aku sukai. Bukan karena aku mengatakannya, tapi karena kamu memperhatikan.
Aku menyukai kamu yang tahu perkataan apa yang harus dilontarkan agar senyumku tak hilang.

"Ayo ikut. Kau tidak ada perlu apapun kan?"
"Kemana?" 
"Berjalan-jalan saja. Main."
"Bohong. Aku tahu kau tidak suka pergi keluar untuk main."
Dan kau hanya terseyum menanggapi ke-tidak-percaya-an-ku dan kemudian menarik lembut tanganku.
"Ikut saja. Ayo."

Dan kamu membawaku ke sebuah stasiun kereta api di kota ini. Dan tiba-tiba aku merasa aku kembali pada masa lalu. Iya, dulu aku sering mengunjungi stasiun kereta api bersama orang tuaku. Bukan untuk bepergian tapi hanya untuk melihat gerbong-gerbong kereta api. Dan sesudahnya membeli jagung manis yang diberi susu dan keju. Selalu seperti itu. Dan setelah sekian lama, akhirnya aku bisa melihat gerbong-gerbong itu lagi.

"Kamu mau pergi?" tanyaku, pelan.
"Tidak...Aku hanya ingin mengajakmu kesini."
"Mengapa?"
"Karena kamu terlihat begitu suka pada kereta api."
"Begitu ya?"
"Iya. Apalagi saat pertama kali aku melihatmu menatap kereta api itu. Mobil kita berhenti tepat di depan palang kereta api, dan kamu memajukan tubuhmu untuk melihat kereta api itu. Padahal kamu duduk di jok depan."
"Aku tak tahu kau ternyata menyadari hal itu."
Lagi-lagi aku merasa kembali pada masa lalu. Aku yang akan pindah ke jok depan, dipangku oleh ibu atau ayahku jika berhenti tepat didepan palang kereta api.

"Kamu mau ngga jadi pacar aku?" tanyamu tiba-tiba. Aku kembali dari lamunanku dan mendapatimu berdiri menghadapku dengan tangan yang menggenggam setangkai mawar berwarna merah.
"Ini janji ku dulu padamu. Aku membawakan bunga asli untukmu. Bukan bunga plastik." lanjutmu. Aku masih terdiam.
"Aku ingin kita nanti seperti kereta api itu. Panjang. Kita akan memiliki kisah yang panjang dan yang membuatmu senang. Seperti kamu senang pada kereta api ini."
"Tapi kereta api ini mempunyai ujung."
"Lalu apa di dunia ini yang tak berujung? Aku ingin selalu bersamamu, tapi aku juga harus menyadari tak akan ada yang abadi."
"..."
"Dan kita harus pintar memanfaatkan waktu yang disediakan Tuhan untuk kita bersama. Sampai, suatu saat kita dipisah oleh ajal? Mungkin?"
"Iya...Tak ada yang abadi. Seperti kereta api yang panjang ini, tapi mempunyai sebuah ujung. Kita harus sadar dan siap akan adanya perpisahan suatu saat nanti." ucapku sambil memandang satu kereta yang mulai meninggalkan stasiun.
"Dan kita harus membuat ujung itu indah."
"Dan kita hanya boleh berharap, atau berkhayal sekali-kali. Tapi tidak mendahului takdir."
"Ayo. Kita juga harus bisa seperti kereta api itu. Keluar dari stasiun untuk melihat pemandangan indah. Dan pada akhirnya kembali lagi kesini."
Kita terdiam cukup lama setelah itu hingga aku berkata "Lalu, bagaimana bisa aku mengatakan tidak untuk pertanyaanmu yang tadi?" dan dunia berhenti saat kau menggenggam tanganku.

2013/04/04

Rumah

"Aku tak ingin menjadi sebuah rumah." Yuri berkata, matanya lurus menatap seorang pria yang tengah bermain futsal.
"Loh? Bukankah asik menjadi rumah? Rumah itu kan tempat orang kembali."
"Karena orang yang pulang kerumah biasanya orang yang sudah lelah. Aku ingin, segalanya ya bersamaku, baik itu susah atau senang. Bukan hanya ketika lelah dan hanya ingin beristirahat."
"Lalu, biasanya rumah itu kan tempat yang paling nyaman?"
"Biasanya... Kan tidak selalu."
"Tapi kan tetap ada." Marsha bersikukuh pada pendapatnya.
"Ya, ini kan hanya pendapatku."
"Kalau aku, aku ingin menjadi sebuah rumah. Karena dia yang menempati pasti akan selalu kembali kerumah, karena rasa aman dan nyaman mungkin."
"Setelah menghabiskan waktu diluar sana bersama orang lain? Setelah bersenang-senang dengan yang bukan diri kita? Huh."
"Tapi kan memang tiap orang butuh berinteraksi dengan orang lain."
"Ya, kalau begitu, jangan sampai dia menemukan rumah baru yang lebih nyaman. Banyak loh yang pindah rumah."
Marsha terdiam.

"Aku pikir ada yang salah dengan aku dan dia." Mata Yuri masih mengarah pada pria itu.
"Apa yang salah? Sudah usai kan semuanya?"
"Aku belum mengatakan kita berakhir.."
"Dan dia? Sudah memiliki yang lain?" Marsha terkejut. "Aku kira.."
"Entahlah..."
"Aku kira menemukan orang baru dikehidupan itu seharusnya membutuhkan waktu yang cukup lama."
"Iya. Logikanya tidak dalam waktu yang sebentar."
"Tahu kenapa?"
"Karena kita harus sudah siap?"
"Tepat."
Terjadi hening yang cukup panjang saat pria itu beristirahat, disamping kekasih barunya itu.

"Simple nya begini." Marsha memulai lagi. "Seharusnya orang yang baru berpisah memiliki waktu untuk benar - benar sendiri. Merapikan dan menata lagi sesuatu yang, hm sebut saja rumah."
"Dan harus diri sendiri yang merapikannya, orang baru yang datang bukan untuk ikut merapikan." Yuri berpendapat.
"Iya, seharusnya kita hanya boleh membukakan pintu, setelah rumah itu benar - benar rapi. Saat ada yang datang, dia akan mengatakan kalau 'wah ini tempat yang benar-benar indah dan nyaman' begitu. Dia yang baru datang tidak akan tahu jika rumahmu pernah sangat berantakan."
"Jika dia ingin ikut merapikan?"
"Di pikiranku, tidak ada yang bisa ikut merapikan. Karena, yang tahu dan merasakan hanya kita. Ini, cuma bakal diri sendiri yang bisa ngerti." Marsha menunjuk kearah dirinya sendiri. "Yang ada, mereka hanya ikut memberi saran, bagaimana agar kita mampu merapikannya dengan baik."

"Dia masih menghubungiku." Mata Yuri sudah tidak menatap pria itu, kini ia sibuk memainkan tali sepatunya.
"Yaaaa, andaikan dulu ia sedikit bersabar. Bersabar saat kau mengatakan kau jenuh, karena jika ia bersabar mungkin kalian bisa tetap bersama? Kejenuhan itu kan bisa hilang."
"Tapi yasudahlah, ini kan sudah terjadi."
"Satu lagi. Andaikan ia lebih bersabar, untuk menenangkan segalanya. Bersabar untuk tidak mencari kekasih baru dengan cepat. Aku hanya khawatir, dia belum benar - benar melepasmu sebenarnya."
"Makanya, aku tidak ingin menjadi sebuah rumah."
"Tapi, memang pada hakikatnya harus seperti ini bukan?"

2013/04/01

best-hm-friend?

Gisela menyentuh kaca jendela mobil yang dipenuhi rintik hujan. Ia mulai membuka kaca jendela dan mengulurkan tangannya, menyambut tetes-tetes air hujan.
"Ya ampun Gisel, basah dong." Gisel menarik tangannya dan menutup jendela.
"Ini sih emang kamu nya aja yang gasuka hujan. Ini ngga deras lagian hujannya.." ucap Gisel, kini tangannya yang lentik mengikuti tetesan air hujan pada jendela. "Kenapa sih?"
"Hujan itu bikin basah, dingin."
"Cuma karena itu?"
"Iya."
"Hujan itu asik tau. Kalo beruntung, ada sinar matahari udahnya kita bisa liat pelangi."
"Ga pengen liat pelangi juga tuh."
Gisela melirik Bagas dengan ujung matanya.
"Ah hidup kamu ngga rame!"
Bagas terseyum kecil "Terus kenapa masih mau hidup sama aku?"
"Aku kan sahabat yang baik, Gas. Kasian kamu kalo aku pergi, aku kan salah satu yang bikin hidup kamu rame."
Kemudian tawa memenuhi isi mobil itu.

"Bagas, pake motor ya, please."
"Engga."
"Kenapa? Sekali ini aja, please.."
"Engga."
"Please.."
Terdengar helaan nafas Bagas dari ujung teleponnya.
"Iya. Jangan lupa, pake jaket ya. 20 menit lagi aku sampe situ."
"Terimakasih ya." Gisela tersenyum.

Gisela merentangkan tangan dan memejamkan mata. Udara malam yang membelai wajahnya terlihat membuatnya damai.
"Gisela, pegangan sini! Jangan kaya gitu!" Bagas menarik tangan Gisela "Masukin aja tangan kamu ke jaket aku, biar ngga dingin juga."
"Panik amat mas." canda Gisela diiringi tawa lepasnya yang terbawa angin.
"Lah kalo ada apa-apa ya aku yang disalahin."
"Oh gitu ya.. Ah Bagas, ini kereeen sumpah!" kini tangan Gisela terangkat keatas.
"Gisela! Kalo ngga nurut aku turunin disini. Sekarang."
"Sensi amat mas, lagi pms?" Gisela tertawa lagi, tapi kali tangannya sudah melingkar di tubuh Bagas. 
"Bagas! Ini keren tau!"
"Apa?" 
Tangan Gisela menunjuk lampu-lampu perkotaan, yg tampak seperti titik-titik cahaya saja.
"Nama kerennya City Light." ujar Bagas
"Kaya bintang ya, tapi dibawah ngga dilangit."
"Beda tau."
"Emang aku bilang sama?"
"Udah ah. Males debat. Udah nyampe lagian."

"Silakan, nona. Mau pesan apa?" Bagas bertingkah layaknya pelayan disana.
"Yang enaknya disini apaan, Gas?"
"Yang enak? Semua nya enak ko, apalagi kalo gratis ya, ngga-AW !"
Gisela mencubit perut Bagas. "Ga lucu."
"Cokelat panas aja yu. Ga pengen makan."
"Sama cheese cake!"
"Gisel, harus ya? Selalu mesen cheese cake?"
"Udah, pesenin. Atau aku cubit lagi nih."
"Iya."
"Cheese cake itu wajib ada tau."
"Harus selalu cheese cake? Jadi aku yang selalu ada buat kamu, ngga harus ada ya?"
"Bagaaaaaaas!" Gisela mulai mencubit setiap bagian tubuh Bagas yang bisa ia capai. Sementara Bagas sendiri tertawa dan membiarkan Gisela melakukannya.

"Ngga ada bintang ya." Gisela menatap langit kelam.
"Tuh, banyak." Bagas menunjuk City Light yang tampak sangat menawan dari tempatnya duduk. "Kan kalo bintangnya dibawah, aku bisa bawain satu, atau dua atau sebanyak apapun yang kamu mau."
"Kalo aku mau nya bintang yang diatas?"
"Aku gabisa kasih yang kamu mau berarti."
"Ehiya, makasih loh ya. Ini pertama kalinya aku kayak gini. Keluar malem, ngerasain enaknya udara malem, adem."
"Sama-sama Gisela." Bagas tersenyum.
"Perfect ya malem ini? Ada cokelat panas, cheese cake, city light sama.. Kamu. Yang mau bawain aku bintang."
"Hm?"
"Bakal tetep kaya gini ngga sih?"
"Apanya?"
"Kita, kalo masing-masing udah bener-bener punya seseorang yang..." jawab Gisela, pelan.
"Dari dulu juga kita selalu saling ada buat satu sama lain kan? Kamu curhat kalo ada apa-apa, dan aku juga sama kaya gitu."
"Aku ngga mau engga loh..."
"Aku juga. Aku seneng sama kamu gini. Swear."
"Aku, nyaman.."
"Yaudah, kita bakal tetep gini." ucap Bagas dengan tegas.
Gisela terseyum, manis.
"Oke. Deal ya, my best-hm-sweet-friend?" 
"Hm? Yes, my best-my great-friend."
Bagas dan Gisela tertawa bersama lagi, namun pipi Gisela yang merona memang tak bisa disembunyikan oleh apapun.