"Aku tak ingin menjadi sebuah rumah." Yuri berkata, matanya lurus menatap seorang pria yang tengah bermain futsal.
"Loh? Bukankah asik menjadi rumah? Rumah itu kan tempat orang kembali."
"Karena orang yang pulang kerumah biasanya orang yang sudah lelah. Aku ingin, segalanya ya bersamaku, baik itu susah atau senang. Bukan hanya ketika lelah dan hanya ingin beristirahat."
"Lalu, biasanya rumah itu kan tempat yang paling nyaman?"
"Biasanya... Kan tidak selalu."
"Tapi kan tetap ada." Marsha bersikukuh pada pendapatnya.
"Ya, ini kan hanya pendapatku."
"Kalau aku, aku ingin menjadi sebuah rumah. Karena dia yang menempati pasti akan selalu kembali kerumah, karena rasa aman dan nyaman mungkin."
"Setelah menghabiskan waktu diluar sana bersama orang lain? Setelah bersenang-senang dengan yang bukan diri kita? Huh."
"Tapi kan memang tiap orang butuh berinteraksi dengan orang lain."
"Ya, kalau begitu, jangan sampai dia menemukan rumah baru yang lebih nyaman. Banyak loh yang pindah rumah."
Marsha terdiam.
"Aku pikir ada yang salah dengan aku dan dia." Mata Yuri masih mengarah pada pria itu.
"Apa yang salah? Sudah usai kan semuanya?"
"Aku belum mengatakan kita berakhir.."
"Dan dia? Sudah memiliki yang lain?" Marsha terkejut. "Aku kira.."
"Entahlah..."
"Aku kira menemukan orang baru dikehidupan itu seharusnya membutuhkan waktu yang cukup lama."
"Iya. Logikanya tidak dalam waktu yang sebentar."
"Tahu kenapa?"
"Karena kita harus sudah siap?"
"Tepat."
Terjadi hening yang cukup panjang saat pria itu beristirahat, disamping kekasih barunya itu.
"Simple nya begini." Marsha memulai lagi. "Seharusnya orang yang baru berpisah memiliki waktu untuk benar - benar sendiri. Merapikan dan menata lagi sesuatu yang, hm sebut saja rumah."
"Dan harus diri sendiri yang merapikannya, orang baru yang datang bukan untuk ikut merapikan." Yuri berpendapat.
"Iya, seharusnya kita hanya boleh membukakan pintu, setelah rumah itu benar - benar rapi. Saat ada yang datang, dia akan mengatakan kalau 'wah ini tempat yang benar-benar indah dan nyaman' begitu. Dia yang baru datang tidak akan tahu jika rumahmu pernah sangat berantakan."
"Jika dia ingin ikut merapikan?"
"Di pikiranku, tidak ada yang bisa ikut merapikan. Karena, yang tahu dan merasakan hanya kita. Ini, cuma bakal diri sendiri yang bisa ngerti." Marsha menunjuk kearah dirinya sendiri. "Yang ada, mereka hanya ikut memberi saran, bagaimana agar kita mampu merapikannya dengan baik."
"Dia masih menghubungiku." Mata Yuri sudah tidak menatap pria itu, kini ia sibuk memainkan tali sepatunya.
"Yaaaa, andaikan dulu ia sedikit bersabar. Bersabar saat kau mengatakan kau jenuh, karena jika ia bersabar mungkin kalian bisa tetap bersama? Kejenuhan itu kan bisa hilang."
"Tapi yasudahlah, ini kan sudah terjadi."
"Satu lagi. Andaikan ia lebih bersabar, untuk menenangkan segalanya. Bersabar untuk tidak mencari kekasih baru dengan cepat. Aku hanya khawatir, dia belum benar - benar melepasmu sebenarnya."
"Makanya, aku tidak ingin menjadi sebuah rumah."
"Tapi, memang pada hakikatnya harus seperti ini bukan?"
No comments:
Post a Comment