2013/04/01

best-hm-friend?

Gisela menyentuh kaca jendela mobil yang dipenuhi rintik hujan. Ia mulai membuka kaca jendela dan mengulurkan tangannya, menyambut tetes-tetes air hujan.
"Ya ampun Gisel, basah dong." Gisel menarik tangannya dan menutup jendela.
"Ini sih emang kamu nya aja yang gasuka hujan. Ini ngga deras lagian hujannya.." ucap Gisel, kini tangannya yang lentik mengikuti tetesan air hujan pada jendela. "Kenapa sih?"
"Hujan itu bikin basah, dingin."
"Cuma karena itu?"
"Iya."
"Hujan itu asik tau. Kalo beruntung, ada sinar matahari udahnya kita bisa liat pelangi."
"Ga pengen liat pelangi juga tuh."
Gisela melirik Bagas dengan ujung matanya.
"Ah hidup kamu ngga rame!"
Bagas terseyum kecil "Terus kenapa masih mau hidup sama aku?"
"Aku kan sahabat yang baik, Gas. Kasian kamu kalo aku pergi, aku kan salah satu yang bikin hidup kamu rame."
Kemudian tawa memenuhi isi mobil itu.

"Bagas, pake motor ya, please."
"Engga."
"Kenapa? Sekali ini aja, please.."
"Engga."
"Please.."
Terdengar helaan nafas Bagas dari ujung teleponnya.
"Iya. Jangan lupa, pake jaket ya. 20 menit lagi aku sampe situ."
"Terimakasih ya." Gisela tersenyum.

Gisela merentangkan tangan dan memejamkan mata. Udara malam yang membelai wajahnya terlihat membuatnya damai.
"Gisela, pegangan sini! Jangan kaya gitu!" Bagas menarik tangan Gisela "Masukin aja tangan kamu ke jaket aku, biar ngga dingin juga."
"Panik amat mas." canda Gisela diiringi tawa lepasnya yang terbawa angin.
"Lah kalo ada apa-apa ya aku yang disalahin."
"Oh gitu ya.. Ah Bagas, ini kereeen sumpah!" kini tangan Gisela terangkat keatas.
"Gisela! Kalo ngga nurut aku turunin disini. Sekarang."
"Sensi amat mas, lagi pms?" Gisela tertawa lagi, tapi kali tangannya sudah melingkar di tubuh Bagas. 
"Bagas! Ini keren tau!"
"Apa?" 
Tangan Gisela menunjuk lampu-lampu perkotaan, yg tampak seperti titik-titik cahaya saja.
"Nama kerennya City Light." ujar Bagas
"Kaya bintang ya, tapi dibawah ngga dilangit."
"Beda tau."
"Emang aku bilang sama?"
"Udah ah. Males debat. Udah nyampe lagian."

"Silakan, nona. Mau pesan apa?" Bagas bertingkah layaknya pelayan disana.
"Yang enaknya disini apaan, Gas?"
"Yang enak? Semua nya enak ko, apalagi kalo gratis ya, ngga-AW !"
Gisela mencubit perut Bagas. "Ga lucu."
"Cokelat panas aja yu. Ga pengen makan."
"Sama cheese cake!"
"Gisel, harus ya? Selalu mesen cheese cake?"
"Udah, pesenin. Atau aku cubit lagi nih."
"Iya."
"Cheese cake itu wajib ada tau."
"Harus selalu cheese cake? Jadi aku yang selalu ada buat kamu, ngga harus ada ya?"
"Bagaaaaaaas!" Gisela mulai mencubit setiap bagian tubuh Bagas yang bisa ia capai. Sementara Bagas sendiri tertawa dan membiarkan Gisela melakukannya.

"Ngga ada bintang ya." Gisela menatap langit kelam.
"Tuh, banyak." Bagas menunjuk City Light yang tampak sangat menawan dari tempatnya duduk. "Kan kalo bintangnya dibawah, aku bisa bawain satu, atau dua atau sebanyak apapun yang kamu mau."
"Kalo aku mau nya bintang yang diatas?"
"Aku gabisa kasih yang kamu mau berarti."
"Ehiya, makasih loh ya. Ini pertama kalinya aku kayak gini. Keluar malem, ngerasain enaknya udara malem, adem."
"Sama-sama Gisela." Bagas tersenyum.
"Perfect ya malem ini? Ada cokelat panas, cheese cake, city light sama.. Kamu. Yang mau bawain aku bintang."
"Hm?"
"Bakal tetep kaya gini ngga sih?"
"Apanya?"
"Kita, kalo masing-masing udah bener-bener punya seseorang yang..." jawab Gisela, pelan.
"Dari dulu juga kita selalu saling ada buat satu sama lain kan? Kamu curhat kalo ada apa-apa, dan aku juga sama kaya gitu."
"Aku ngga mau engga loh..."
"Aku juga. Aku seneng sama kamu gini. Swear."
"Aku, nyaman.."
"Yaudah, kita bakal tetep gini." ucap Bagas dengan tegas.
Gisela terseyum, manis.
"Oke. Deal ya, my best-hm-sweet-friend?" 
"Hm? Yes, my best-my great-friend."
Bagas dan Gisela tertawa bersama lagi, namun pipi Gisela yang merona memang tak bisa disembunyikan oleh apapun.

No comments:

Post a Comment