Dua insan yang menyembunyikan suara masih saling menatap.
Ditemani hujan dibalik kaca serta kopi yang masih mengepul. Juga lampu – lampu
kendaraan yang rak pernah berhenti melewati kafe yang sepi itu. Kelewat sepi
sebenarnya, hanya mereka berdua dan beberapa pelayan yang saling bergosip.
“Kata orang, cinta itu harus disampaikan…” Gadis berambut
hitam tebal itu mulai membuka suara.
“Hmm…”
“Kata lagu, when you love someone just be brave to say that
you want him to be with you.” Kata gadis itu lagi.
“Oh iya? Emang cinta itu apaan sampe kayaknya begitu
penting?” akhirnya lelaki itu menanggapi ucapan si gadis.
“People says that, love is putting someone else’s needs
before yours.”
“Kata orang mulu deh perasaan. Kata kamu sendiri cinta itu apa?”
Mata gadis itu menerawang jauh, “Cinta itu… kayak bilangan 0
yang dibagi angka lainnya, tak terdefinisikan.”
“Jadi nggak bisa dijelasin dong?”
“Loh emang iya kan? Kalo cinta, kalo sayang, ya tinggal
tunjukin.”
“Pinter!” kata lelaki itu sambil terus mengaduk kopinya.
“Kalau bisa dijelasin pake kata – kata itu bukan cibta.
Yakin deh, perasaan yang dirasa itu nggak bakal bisa dijabarin pake kata – kata
kalau kamu bener ngerasa sayang. Karena itu tuh jauh dari dari sekedar kata
bahagia.”
“Emang bisa ya? Tanpa kata – kata kita ngasih tahu kalau
kita sayang?”
“Bukan tanpa kata – kata juga sih, tapi yaaa… semacam… Baca
ini deh, buku kumpulan surat gitu. Keren kok.” Gadis itu menyodorkan buku dari
tas ranselnya.
Talk Less Do More, Itu Kamu!
Selamat malam…
Seperti biasa aku menulis
surat ini untukmu, di setiap malam. Mengapa aku selalu menyertakan judul dalam
suratku? Karena agar berbeda dengan yang lain. Alasannya jelas bukan? Karena
kamu berbeda, kamu istimewa.
Hari ini, aku terkejut
dengan semua kelakuanmu. Selalu terkejut sebenarnya, kamu selalu berhasil
membuat aku jatuh cinnta di setiap helaan nafasku. Lagi dan lagi…
Hey, hari ini kamu begitu
dahsyat. Bukan…bukan seperti Olga dan Raffi di sebuah statsiun televisi itu.
Kamu, kamu memang jarang mengatakann ‘I Love You’ tapi aku selalu bisa
merasakannya. Oh! Malah sepertinya aku belum pernah mendengar kamu langsung
mengucapkan kalimat itu. Tapi, semakin kita dewasa, semakin kita akan mengerti
kalau cinta itu dibuktikan, bukan diucapkan.
Tingkahmu selalu mampu membuatku
melayang dan membangunkan kupu – kupu yang tertidur lelap di dasar perutku.
Hari ini, tiba – tiba kamu
memintaku untuk menjemputmu di bandara. Kamu datang tanpa memberi tahu
sebelumnya. Dan tanpa mempersiapkan apapun, aku langsung menuju bandara, tak
mau membuarkanmu menunggu lebih lama. Di balik kaca itu, akhirnya aku melihat
senyummu. Kamu, memegang sebotol air mineral dan hanya membawa ransel yang
tidak begitu besar, benar – benar backpacker ya kamu sayang. Dan saat mata
bertemu mata tak ada lagi kata yang bisa terucap. Dalam keheningan itu hanya
dekapan yang mampu menjelaskan. Aku ternyata benar – benar merindukanmu, dan
melihat kamu sekarang disini, dihadapanku sudah cukup mengobati rasa rinduku
pada rumah, kampong halaman. Tanpa bertanya apakah aku ada keperluan lain atau
tidak, kamu mengeluarkan dua tiket untuk masuk ke Vienna State Opera. Entah
bagaimana caranya kamu mendapat tiket itu. Dan tepat pukul 19.00 kita sudah
duduk di salah satu bangku didalamnya, larut dalam alunan orchestra yang begitu
lembut dan megah. Aku, kamu, dengan pakaian informal yang benar – benar simple.
Kaus tebal dipadukan dengan pakaian hangat juga syal dan sarung tangan. Sangat
berbeda dengan tamu lainnya yang begitu rapi, memakai gaun dan tuksedo. Tapi
aku sungguh tak peduli, apalah arti gaun – gaun itu jika aku disini tanpa
dirimu?
Setelahnya kamu mengajakku
untuk makan di sebuah tempat makan yang bahkan, selama hampir 2 tahun aku
tinggal di Vienna, aku tidak tahu. Diatas bukit, bintang bertaburan, lampu –
lampu kota seluas mata memandang, juga dua buah lilin yang menghiasi meja.
Lagi, aku melihat teduhnya
matamu di cahaya yang redup ini. Sepasang mata yang selalu aku rindukan,
sepasang mata yang selalu bisa mewakilkan ucapan – ucapan yang tampaknya begitu
sulit untuk kau ucapkan langsung.
Perempuan memang akan
terlena pada lelaki yang mulutnya sering mengucap pujian, janji atau kata –
kata indah nan romantis. Tapi, perempuan akan jatuh cinta pada lelaki yang
membuktikan segala ucapannya, atau pada lelaki yang tak mengumbar janji tapi
‘Talk Less Do More’ yang selalu mau berkorban. Iya, seperti kamu.
Seperti kamu 10 bulan yang
lalu. Aku masih ingat itu, hari terakhir aku berada di Indonesia. Dan hari itu
aku cukup kecewa, Ayah dan Bunda yang sudah berjanji akan mengantar ke bandara,
melepasku lagi untuk menuntut ilmu disini, tiba – tiba menghilang, sibuk dengan
urusan perusahaan yang sama sekali tak ingin aku mengerti. Lalu kamu datang,
kamu yang saat itu terpaksa menggunakan taksi, kamu yang saat itu sedang sakit,
memaksakan diri agar dapat melihatku dan akhirnya lambaian tanganmu yang
terakhir kali aku lihat di Indonesia.
Malam ini terasa begitu
benderang. Dan aku tak tahu, mungkinkah ada rasa nyaman yang lain, yang bisa
mengalahkan ini? Hm, aku rasa tidak. Dan besok, aku yakin kita akan melewati
sehari yang indah di Vienna ini. Aku juga yakin, kamu punya berjuta kejutan
untukku besok.
Selamat malam, selamat
beristirahat.
Love.
“Terus? Besoknya itu mereka ngapain aja?”
“Ya mana aku tau sih.. hahaha” Gadis itu tertawa renyah. “Tapi
sedih ya, buat ketemu aja butuh waktu berbulan – bulan. Kepisah benua apa
rasanya coba?”
“Kamu sendiri kalau misalnya ditugasin ke luar negeri mau?”
“Engga.”
“Btw… Jadi? Cinta itu nggak harus diucapkan kan?”
“Nggak selalu harus. Tapi aku kurang setuju loh.. Mau nggak
mau, cinta itu harus disampaikan. Ya… bukan berarti harus bilang I Love You,
tapi pokoknya harus tersampaikan deh. Pokoknya biar nggak ada salah paham gitu…”
Lelaki itu terdiam, memperhatikan pasangan yang baru saja
duduk di meja sebelahnya.
“Buat aku, kalau suka sama seseorang itu harus ditunjukan,
dan jangan sampai mereka pergi karena menunggu kita. Apapun hasilnya, yang
penting kita tau… apapun hasilnya yang penting kita nggak nyesel nantinya.”
“Kamu mau PJ?” lelaki itu tiba – tiba bertanya.
“Hah? Pajak Jadian maksudnya? Kamu… jadian sama siapa? Kenapa
belum cerita?”
“Belum pasti sih… soalnya, tergantung kamu nerima aku atau
enggak… Kamu mau nggak jadi pacar aku?” tak bisa disembunyikan lagi kegugupan
dari lelaki itu.
Sang gadis memang terkejut,ia terdiam, tapi semburat merah dan senyumnya seakan
menjawab segalanya.
“Kenapa nggak jawab? Jawabannya enggak ya? Ya… nggak apa –
apa sih, yang penting aku nggak akan nyesel, aku udah tau jawaban kamu apa…”
“Kenapa kamu tiba – tiba nanya kayak gitu ke aku?” gadis itu
masih tersenyum.
“Karena… aku nggak mau nyesel. Aku nggak mau kamu nggak tau
perasaan aku yang sebenernya. Aku pengen kamu tau, selama ini perhatian dan
segala yang aku korbanin buat kamu itu nggak cuma sebatas perasaan temen ke
temen. Maaf, selama ini aku yang terlalu gengsi, aku yang terlalu banyak mikir
pantes enggak kamu buat aku. Aku yang selalu mikir kalau aku ngga pantes buat
kamu, kamu terlalu baik buat aku. Ya, kamu tau kan sekarang?” lelaki itu kini
kehilangan warna diwajahnya, menunduk dan kembali mengaduk – aduk kopinya yang
hampir habis.
“Aku nunggu ini tau nggak? Nggak tau udah berapa tahun aku cuma
berimajinasi kamu mengucapkan kata – kata itu. Aku juga bukan nggak mau
nunjukin perasaan aku kok, aku cuma bingung caranya dan aku takut perasaan ini
itu ternyata satu arah. Jadi? Mana mungkin aku jawab enggak?”
Hening yang cukup panjang setelah jawaban dari sang gadis
meluncur. Hujan diluar sudah mulai reda, hanya tetesan – tetesan air yang kini
tersisa. Suasana masih begitu sunyi. Gadis itu masih tetap tersenyum.
“Saranghaeo” bisik lelaki itu akhirnya.
“Apa? Nggak kedengeran…”
“Nggak usah nyuruh aku ulangi kata itu. Kamu sendiri tau aku
bukan orang yang bisa bilang I Love You dengan mudah.”
“Saranghaeo… Makasih ya… PJnya jangan lupa.”
Dan tawa berderai sesudahnya.
No comments:
Post a Comment