2014/03/25

Berjuang dalam diam

Dua insan yang menyembunyikan suara masih saling menatap. Ditemani hujan dibalik kaca serta kopi yang masih mengepul. Juga lampu – lampu kendaraan yang rak pernah berhenti melewati kafe yang sepi itu. Kelewat sepi sebenarnya, hanya mereka berdua dan beberapa pelayan yang saling bergosip.
“Kata orang, cinta itu harus disampaikan…” Gadis berambut hitam tebal itu mulai membuka suara.
“Hmm…”
“Kata lagu, when you love someone just be brave to say that you want him to be with you.” Kata gadis itu lagi.
“Oh iya? Emang cinta itu apaan sampe kayaknya begitu penting?” akhirnya lelaki itu menanggapi ucapan si gadis.
“People says that, love is putting someone else’s needs before yours.”
“Kata orang mulu deh perasaan. Kata kamu sendiri cinta itu apa?”
Mata gadis itu menerawang jauh, “Cinta itu… kayak bilangan 0 yang dibagi angka lainnya, tak terdefinisikan.”
“Jadi nggak bisa dijelasin dong?”
“Loh emang iya kan? Kalo cinta, kalo sayang, ya tinggal tunjukin.”
“Pinter!” kata lelaki itu sambil terus mengaduk kopinya.
“Kalau bisa dijelasin pake kata – kata itu bukan cibta. Yakin deh, perasaan yang dirasa itu nggak bakal bisa dijabarin pake kata – kata kalau kamu bener ngerasa sayang. Karena itu tuh jauh dari dari sekedar kata bahagia.”
“Emang bisa ya? Tanpa kata – kata kita ngasih tahu kalau kita sayang?”
“Bukan tanpa kata – kata juga sih, tapi yaaa… semacam… Baca ini deh, buku kumpulan surat gitu. Keren kok.” Gadis itu menyodorkan buku dari tas ranselnya.

Talk Less Do More, Itu Kamu!
Selamat malam…
Seperti biasa aku menulis surat ini untukmu, di setiap malam. Mengapa aku selalu menyertakan judul dalam suratku? Karena agar berbeda dengan yang lain. Alasannya jelas bukan? Karena kamu berbeda, kamu istimewa.
Hari ini, aku terkejut dengan semua kelakuanmu. Selalu terkejut sebenarnya, kamu selalu berhasil membuat aku jatuh cinnta di setiap helaan nafasku. Lagi dan lagi…
Hey, hari ini kamu begitu dahsyat. Bukan…bukan seperti Olga dan Raffi di sebuah statsiun televisi itu. Kamu, kamu memang jarang mengatakann ‘I Love You’ tapi aku selalu bisa merasakannya. Oh! Malah sepertinya aku belum pernah mendengar kamu langsung mengucapkan kalimat itu. Tapi, semakin kita dewasa, semakin kita akan mengerti kalau cinta itu dibuktikan, bukan diucapkan.
Tingkahmu selalu mampu membuatku melayang dan membangunkan kupu – kupu yang tertidur lelap di dasar perutku.
Hari ini, tiba – tiba kamu memintaku untuk menjemputmu di bandara. Kamu datang tanpa memberi tahu sebelumnya. Dan tanpa mempersiapkan apapun, aku langsung menuju bandara, tak mau membuarkanmu menunggu lebih lama. Di balik kaca itu, akhirnya aku melihat senyummu. Kamu, memegang sebotol air mineral dan hanya membawa ransel yang tidak begitu besar, benar – benar backpacker ya kamu sayang. Dan saat mata bertemu mata tak ada lagi kata yang bisa terucap. Dalam keheningan itu hanya dekapan yang mampu menjelaskan. Aku ternyata benar – benar merindukanmu, dan melihat kamu sekarang disini, dihadapanku sudah cukup mengobati rasa rinduku pada rumah, kampong halaman. Tanpa bertanya apakah aku ada keperluan lain atau tidak, kamu mengeluarkan dua tiket untuk masuk ke Vienna State Opera. Entah bagaimana caranya kamu mendapat tiket itu. Dan tepat pukul 19.00 kita sudah duduk di salah satu bangku didalamnya, larut dalam alunan orchestra yang begitu lembut dan megah. Aku, kamu, dengan pakaian informal yang benar – benar simple. Kaus tebal dipadukan dengan pakaian hangat juga syal dan sarung tangan. Sangat berbeda dengan tamu lainnya yang begitu rapi, memakai gaun dan tuksedo. Tapi aku sungguh tak peduli, apalah arti gaun – gaun itu jika aku disini tanpa dirimu?
Setelahnya kamu mengajakku untuk makan di sebuah tempat makan yang bahkan, selama hampir 2 tahun aku tinggal di Vienna, aku tidak tahu. Diatas bukit, bintang bertaburan, lampu – lampu kota seluas mata memandang, juga dua buah lilin yang menghiasi meja.
Lagi, aku melihat teduhnya matamu di cahaya yang redup ini. Sepasang mata yang selalu aku rindukan, sepasang mata yang selalu bisa mewakilkan ucapan – ucapan yang tampaknya begitu sulit untuk kau ucapkan langsung.
Perempuan memang akan terlena pada lelaki yang mulutnya sering mengucap pujian, janji atau kata – kata indah nan romantis. Tapi, perempuan akan jatuh cinta pada lelaki yang membuktikan segala ucapannya, atau pada lelaki yang tak mengumbar janji tapi ‘Talk Less Do More’ yang selalu mau berkorban. Iya, seperti kamu.
Seperti kamu 10 bulan yang lalu. Aku masih ingat itu, hari terakhir aku berada di Indonesia. Dan hari itu aku cukup kecewa, Ayah dan Bunda yang sudah berjanji akan mengantar ke bandara, melepasku lagi untuk menuntut ilmu disini, tiba – tiba menghilang, sibuk dengan urusan perusahaan yang sama sekali tak ingin aku mengerti. Lalu kamu datang, kamu yang saat itu terpaksa menggunakan taksi, kamu yang saat itu sedang sakit, memaksakan diri agar dapat melihatku dan akhirnya lambaian tanganmu yang terakhir kali aku lihat di Indonesia.
Malam ini terasa begitu benderang. Dan aku tak tahu, mungkinkah ada rasa nyaman yang lain, yang bisa mengalahkan ini? Hm, aku rasa tidak. Dan besok, aku yakin kita akan melewati sehari yang indah di Vienna ini. Aku juga yakin, kamu punya berjuta kejutan untukku besok.
Selamat malam, selamat beristirahat.
Love.

“Terus? Besoknya itu mereka ngapain aja?”
“Ya mana aku tau sih.. hahaha” Gadis itu tertawa renyah. “Tapi sedih ya, buat ketemu aja butuh waktu berbulan – bulan. Kepisah benua apa rasanya coba?”
“Kamu sendiri kalau misalnya ditugasin ke luar negeri mau?”
“Engga.”
“Btw… Jadi? Cinta itu nggak harus diucapkan kan?”
“Nggak selalu harus. Tapi aku kurang setuju loh.. Mau nggak mau, cinta itu harus disampaikan. Ya… bukan berarti harus bilang I Love You, tapi pokoknya harus tersampaikan deh. Pokoknya biar nggak ada salah paham gitu…”
Lelaki itu terdiam, memperhatikan pasangan yang baru saja duduk di meja sebelahnya.
“Buat aku, kalau suka sama seseorang itu harus ditunjukan, dan jangan sampai mereka pergi karena menunggu kita. Apapun hasilnya, yang penting kita tau… apapun hasilnya yang penting kita nggak nyesel nantinya.”
“Kamu mau PJ?” lelaki itu tiba – tiba bertanya.
“Hah? Pajak Jadian maksudnya? Kamu… jadian sama siapa? Kenapa belum cerita?”
“Belum pasti sih… soalnya, tergantung kamu nerima aku atau enggak… Kamu mau nggak jadi pacar aku?” tak bisa disembunyikan lagi kegugupan dari lelaki itu.
Sang gadis memang terkejut,ia terdiam,  tapi semburat merah dan senyumnya seakan menjawab segalanya.
“Kenapa nggak jawab? Jawabannya enggak ya? Ya… nggak apa – apa sih, yang penting aku nggak akan nyesel, aku udah tau jawaban kamu apa…”
“Kenapa kamu tiba – tiba nanya kayak gitu ke aku?” gadis itu masih tersenyum.
“Karena… aku nggak mau nyesel. Aku nggak mau kamu nggak tau perasaan aku yang sebenernya. Aku pengen kamu tau, selama ini perhatian dan segala yang aku korbanin buat kamu itu nggak cuma sebatas perasaan temen ke temen. Maaf, selama ini aku yang terlalu gengsi, aku yang terlalu banyak mikir pantes enggak kamu buat aku. Aku yang selalu mikir kalau aku ngga pantes buat kamu, kamu terlalu baik buat aku. Ya, kamu tau kan sekarang?” lelaki itu kini kehilangan warna diwajahnya, menunduk dan kembali mengaduk – aduk kopinya yang hampir habis.
“Aku nunggu ini tau nggak? Nggak tau udah berapa tahun aku cuma berimajinasi kamu mengucapkan kata – kata itu. Aku juga bukan nggak mau nunjukin perasaan aku kok, aku cuma bingung caranya dan aku takut perasaan ini itu ternyata satu arah. Jadi? Mana mungkin aku jawab enggak?”
Hening yang cukup panjang setelah jawaban dari sang gadis meluncur. Hujan diluar sudah mulai reda, hanya tetesan – tetesan air yang kini tersisa. Suasana masih begitu sunyi. Gadis itu masih tetap tersenyum.
“Saranghaeo” bisik lelaki itu akhirnya.
“Apa? Nggak kedengeran…”
“Nggak usah nyuruh aku ulangi kata itu. Kamu sendiri tau aku bukan orang yang bisa bilang I Love You dengan mudah.”
“Saranghaeo… Makasih ya… PJnya jangan lupa.”

Dan tawa berderai sesudahnya. 

No comments:

Post a Comment