Tania memandangi wajah dalam foto itu. Pria
yang hampir 3 tahun bersamanya itu kini menghilang begitu saja. Tania tidak
hanya menyayangi Andre, ia mengagumi juga semua yang ada pada diri Andre.
Baginya, Andre mampu membuatnya jatuh cinta setiap hari. Dan sekarang hidupnya
terasa hampa, tanpa hadirnya Andre di harinya.
“ Tan, Andre kemana ?” Doni menghampiri
Tania.
“ Aku juga engga tau. Ngga ada kabar.”
“ Aduh, mana kerjaan dia banyak yang udah
lewat deadline.”
“ Dia ngga masuk kantor udah berapa lama ?”
“ seminggu. Yaudah deh thanks ya Tan.”
“ seminggu ?” Tania heran. Dua hari yang
lalu Andre masih menghubunginya, walaupun ia terasa berbeda. Refleks Tania
langsung menghubungi ponsel Andre. Nihil, ponselnya tidak aktif.
“ Nah, kamu pasti galau soal Andre.” Lia
menyiapkan makanan di meja makan. “ Ko bisa dia kaya yang ilang ditelan bumi
gitu?”
“ ngga usah lebay gitu.” Sahut Tania.
“ Lah ? emang gitu kan ?”
“ Li, aku ngga tau Andre kemana. Dia ngga
ngasih tau apapun.” Tania mulai menyendokan makanan ke piringnya.
Tiba – tiba ponsel Tania bergetar.
“ Andre !” Tania langsung menekan tombol
hijau di ponselnya itu, menjauh dari meja makan.
“ Andre, kamu kemana aja sih ? Ngga ngasih
kabar, ngga bilang apa – apa, aku baru tau juga kamu ngga masuk kantor udah seminggu.
Ngga sakit kan, Andre ?”
“ Tania maaf. Kayaknya kita gabisa lanjutin hubungan kita ini. Maaf Tania.
Jaga diri kamu ya..” Andre mengatakan itu semua dengan terburu – buru.
Wajah Tania memucat. Telepon itu sudah
diputuskan oleh Andre.
Tania kembali ke meja makan dengan lesu. “
Andre mutusin aku..”
Dan sebelum Lia sempat mengucapkan apapun,
Tania sudah melangkah ke kamarnya.
Bulan berganti bulan. Andre belum
menampakkan dirinya lagi. Dan Tania, masih menunggu Andre. Sejak saat Andre
meneleponnya itu, harinya terasa suram.
“ Aku tau susah buat kamu. Andre ilang gitu
aja. Tapi ini udah lebih dari delapan bulan kamu kaya gini. Kita juga ngga ada
yang tau Andre kemana.”
“ Apa aku kurang care sama dia ? Ko bisa
sih dia ngilang gitu aja ? dan aku, ngga bisa nebak dia ada dimana.”
“ kenapa ngga coba tanya mamanya ?” Lia bertanya.
“ Aku..Andre belum pernah ngenalin aku sama
mamanya.”
“ Tiga taun pacaran dan kamu ngga tau
mamanya Andre ?” Lia menatap Tania tak percaya.
Tania terdiam.
“ Aku ngga ngerti deh. Aku aja yang baru
pacaran beberapa bulan tau ko, mama sama papanya pacar aku.”
“ Aku juga ngga ngerti Li..”
Pada jam – jam pagi begini, bus yang biasa
ditumpangi Tania memang biasa penuh. Dan itu terjadi begitu saja. Tak sengaja
Tania menumpahkan minumannya pada seorang pria, memakai kemeja rapi dan tampak
terburu – buru.
“ Ya ampun ! Maaf mas. Saya ngga nyangka bus
nya bakalan berenti tiba – tiba gini.”
Pria itu hanya tersenyum, dan mencoba
membersihkan kemeja nya yang kini bernoda.
Tania mengeluarkan tisu nya. “ Ini Mas.
Saya punya tisu. Barangkali butuh.”
Tanpa berkata apapun pria itu menerima tisu
yang di tawarkan oleh Tania.
“ Mas marah ya sama saya ? Maaf ya Mas,
maaf banget. Kalo ketemu lagi saya ganti deh bajunya.”
“ ngga perlu ko. Basahnya ngga sampe dalem
ko.” Lagi – lagi pria itu tersenyum.
Bus itu mulai melaju lagi. Tania dan pria
itu kini bisa duduk, bus sudah mulai kosong.
“ Mau kemana ?” tanya pria itu.
“ Mau ke kantor. Mas sendiri ?”
“ Jangan panggil Mas, berasa udah tua. Saya
Tirta.”
“ Iya hehe.” Tania nyengir. “Tirta mau
kemana ?”
“ Mau interview. Saya lagi coba cari
kerjaan.”
“ Ya ampun. Maaf deh itu berarti saya
ngerusak dong. Maaf Tirta.” Tania tampak begitu menyesal.
“ Hahaha santai aja lagi.” Tirta tersenyum,
lagi.
Dalam hatinya yang kebingungan, Tania
menyadari senyuman Tirta yang begitu, menenangkan.
Sampai bus itu tiba di halte, Tania masih
sibuk meminta maaf pada Tirta.
“ udah udah saya bilang juga santai aja.
Duluan ya, mba?”
“ Saya Tania.”
“ Duluan ya Tania.”
Tania juga turun dari bus itu. Tapi begitu
ia mencari Tirta, pria itu sudah tak Nampak batang hidungnya.
Tania sedang melamun di meja kerjanya ketika Tirta berjalan ke
arahnya.
“ Heh Mba ngelamun mulu, ntar kesambet.”
“ Loh ? Tirta ? jadi, kamu mau interview
disini ?”
“ udah beres interviewnya. Hmm.. ini
sekarang harusnya sih jadi meja kerja saya.”
“ Maksudnya ?”
“ Ya maksudnya saya keterima buat kerja
disini. Dan mulai sekarang kamu bisa bagi – bagi kerjaan kamu sama saya. Meja
di samping kamu kosong kan ? itu bakal jadi meja saya.”
Tania hanya melongo mendengarnya.
“ Saya kira anda pendiam.”
Tirta tersenyum, lagi. “ jangan menilai
dari luarnya saja.”
Hari berganti hari, Tania dan Tirta semakin menjadi
dekat. Karena tuntutan pekerjaan, atau karena hati yang memaksa. Tirta
yang kebetulan rumahnya searah dengan rumah kontrakan Tania, sering mengajak
Tania pulang bersama.
“ Tirta. Kenapa waktu itu kamu ngelamar
kerjaan di sini ?” Tanya Tania pada suatu sore, saat Tirta mengantar Tania
pulang.
“ karena diperusahaan yang dulu aku ngerasa
ngga nyaman.”
“ mengundurkan diri dari perusahaan
sebelumnya. Gitu ?”
“ bukan, perusahaan itu milik papa aku. Dan
aku ngerasa kalo ngga adil, aku kerja disana dan langsung dapet jabatan tinggi.
Aku ngga suka yang begitu.”
“ ooh. Aku baru tau.”
“ nah kan dulu kamu bilang, kalo ketemu
lagi bakal gantiin baju aku itu.”
“ hahaha masih inget ?” Tania tertawa. Lesung
pipinya membuat Tirta betah memandang Tania lama - lama.
“Masih laah.” Wajah jahil Tirta menggoda Tania.
“ oke, jadi aku bakal ganti baju yang kamu
pake pas ngelamar kerjaan itu. tunggu ya.”
“ iya, bajunya nanti bakal aku pake buat
ngelamar lagi."
" loh? mau ninggalin aku?" ucap Tania, suaranya terdengar kecewa.
" Ngelamar kamu, ke orang tua kamu.” Tirta tersenyum.
“ Becanda nya bisaaaa aja ya.” Tania berusaha menanggapi dengan santai, ada perasaan lega karena Tirta tidak berencana untuk pindah ke tempat lain. Namun hatinya sudah dag dig dug tak karuan karena ucapan Tirta itu.
“ aku engga becanda. Mungkin kecepetan kali
ya buat kamu..”
“ Tirta..aku..”
“ aku sayang sama kamu, Tania.” Tirta
menatap lurus pada Tania. Ini udah bulan ke lima kita bareng, dan aku udah tau
apa yang aku rasain. Kita udah dewasa dan aku pikir pacaran itu Cuma buat anak
kecil. Ya walaupun ini terkesan terburu – buru tapi aku mohon kamu pikirin ini
semua. Ngga harus sekarang Tan kamu jawabnya. Dan bukan berarti kita langsung nikah gitu, aku cuma pengen lebih serius sama kamu.”
Tirta membukakan pintu mobilnya untuk Tania.
Dikamarnya Tania memikirkan hal itu. Juga,memikirkan
Andre. Tania sendiri sadar kalau dirinya sudah tak sesering dulu memikirkan
Andre. Namun kali ini, ia benar – benar tak tahu harus bagaimana. Ia tau, Tirta
tak sekedar teman kerja baginya. Ia juga tau, kalau ia tertarik pada Tirta.
Tapi jauh di dalam hati Tania, masih terselip keinginan untuk bersama Andre.
Andre, yang tak tahu pergi kemana. Andre yang tiba – tiba hilang. Andre yang
hanya mengucapkan selamat tinggal dengan singkat. Tania sudah membulak –
balikan badannya. Ia ragu apakah benar ia menyayangi Tirta ? Apa hanya sekedar
tertarik ? Tapi Tania juga tahu, tak ada guna nya mengharapkan Andre. Ia berhak
bahagia, dengan siapapun. Tania memejamkan mata, dan esok ia siap menjawab
pertanyaan Tirta yang akan membawanya pada bahagia.
Esoknya Tania benar - benar terkejut. Ada seseorang yang
menunggunya di ruang tamu. Andre.
“ Kamu mau apa kesini?”
“ Tania..”
“ Kamu ngga tau kan gimana paniknya aku!
Kamu ngga tau kan gimana aku khawatir sama keadaan kamu! Kamu juga ngga tau aku
selama ini selalu berusaha buat cari kamu! Dan kamu ngga tau, aku begitu
tersiksa karena kamu pergi dengan mudahnya.” Tania tak dapat menahan
airmatanya.
“ aku kesini mau minta maaf sama kamu
Tania..” ujarAndre pelan.
“ MAAF ? Apa kamu kira cukup dengan kamu
datang kesini sepagi ini dan kamu Cuma bilang maaf?”
“ boleh aku menjelaskan sesuatu, Tania ?”
“ terserah. Aku ngga akan dengerin.”
“ ngga masalah.” Andre menghembuskan
nafasnya dengan keras. “aku tau dulu itu aku salah. Salah besar. Waktu itu aku
bener – bener shock liat papa selingkuh, aku mergokin sendiri Tan. Dan gatau
gimana mama tau soal papa selingkuh, akhirnya mama jadi sakit.”
Andre mengacak – acak rambutnya, terlihat
marah pada dirinya sendiri “Waktu itu keadaan aku lagi ngga stabil banget Tan!
Dan aku juga gatau gimana bisa dengan gampangnya mutusin kamu. Aku nyesel
Tan..”
“Terus kenapa kamu ngga bilang? Kamu kira
aku Cuma bakal nambah beban kamu? Aku bisa bantu kamu!”
“Aku malu buat ngakuin ini semua sama kamu
Tan. Aku juga takut kamu jadi enggan sama aku yang papa nya tukang selingkuh.”
Andre mendekat dan memegang tangan Tania. “Aku janji, sekarang aku ngga akan
kaya gitu lagi. Kamu mau kan jadi pacar aku lagi?”
Tania menunduk, hati dan pikirannya
berlomba untuk sebuah keputusan. Ia tak bisa memungkiri genggaman tangan Andre
ini masih menghangatkan hatinya. Tubuhnya juga masih merasakan hal yang sama
jika ia bersentuhan dengan Andre.
“Kemana aja kamu selama ini, Andre?” tanya
Tania pelan.
“Aku ngobatin mama kesana – kesini Tan, aku
pengen mama sem…”
“Andre..” perkataan Andre dipotong oleh
Tania. “Aku tau kamu pergi ninggalin aku buat hal yang sangat baik. Tapi apa
kamu tau? Gimana aku kehilangan kamu? Gimana aku ngerasa..setelah kamu pergi
aku jadi ngga hidup? Gimana aku ngga pengen ngejalanin hari – hari aku lagi?”
“Aku minta maaf, Tania. Andai kamu ngerti
aku dulu gimana.” Tania merasakan genggaman di tangannya semakin kuat.
“Andai kamu mau lebih terbuka dan cerita,
Andre.”
Mereka berdua terdiam. Andre masih menggenggam
tangan Tania.
“Aku minta maaf, Andre. Aku rasa kita ngga
bisa nerusin yang waktu itu.” perlahan Tania menarik tangannya.
“Aku sudah memiliki seseorang yang sayang
sama aku. Dan aku yakin, dia percaya sama
aku. Aku yakin dia mau menceritakan segala yang menjadi bebannya, karena
dia bisa percaya, aku bakal ngelakuin apapun yang aku bisa buat orang yang
berarti buat aku. Dia percaya aku bisa bikin dia tenang dan bakal tetep ada
disamping dia bagaimanapun lingkungannya. Karena yang aku sayang dia, bukan
yang lain. Maafin aku, Andre.”