2013/03/16

Malaikat Tak Bersayap

Baru kali ini aku berdekatan dengannya, sebelumnya aku hanya melihatnya selewat. Itupun baru beberapa minggu terakhir ini, mungkin dia orang baru disini.
Dia duduk tepat disampingku, dan melihat kearahku. Dan entahlah, aku tak tahu harus berbuat apa.
Tapi ia tak mengatakan apapun, hanya duduk disampingku.
Ya, hari ini kantorku mengadakan rapat tahunan yang harus dihadiri oleh seluruh karyawan. Rapat ini menghabiskan waktu seharian. Dan betapa bahagianya aku ketika rapat ini selesai, aku bisa segera pulang kerumah, mengurung diri dikamar, melepas segala beban.

"Nomer hape kamu berapa? Biar aku save." perkataannya mengagetkanku.
"Oh iya. Ini." terkejut, aku langsung menyebutkan beberapa digit angka.
"Aku sms ya." ujar dia lagi.
"Orang baru ya disini?" 
Mengalihkan pandangan dari ponselnya dan menatapku, ia terlihat heran. Kemudian dengan cengiran singkat ia menjawab, "Engga ko. Beda bagian sih emang, jadi kita mungkin ngga pernah ketemu. Aku Aditya"
"Calista." aku tersenyum.

Entah bagaimana, sejak saat itu kita sering bertemu. Kita juga sering berkirim pesan singkat, hanya obrolan ringan memang. Dan aku menyadari kalau kita mudah beradaptasi satu sama lain, juga kita mudah menjadi dekat, seperti sudah lama saling mengenal.

"Lagi ada masalah ya? Cerita bisa kali :p"
Pesan singkat darinya membuatku tertegun. Haruskah aku menceritakan masalahku ini padanya? Dia datang saat aku benar-benar membutuhkan seseorang untuk mendengarkanku, dan dia ada seperti aku memang harus mencurahkan perasaanku padanya.
"Aku boleh curhat?" tanyaku
"Silakan :)"
Akhirnya aku menceritakan segalanya. Bagaimana kalutnya perasaanku saat ini. Bagaimana aku yang bingung harus bertindak seperti apa. Bagaimana aku yang begitu takut jika pada akhirnya papa dan mama memutuskan untuk benar-benar berpisah. Ia menanggapi segala curhatanku dengan sikap yang tepat, ia tahu kapan ia hanya mendengarkan dan kapan ia harus menanggapi. Setelah selesai, aku heran pada diriku sendiri yang bisa menceritakan masalah seperti ini, kepada orang yang belum lama aku kenal.

Bulan-bulan berlalu, dan hari ini segalanya tampak hampir membunuhku. Papa-mama benar-benar berpisah, untuk selamanya takkan hidup bersama kembali. Aku, sebagai anak tunggal tak tahu harus menangis kepada siapa, dan tiba-tiba dia ada disitu. Aditya. Mengulurkan tangannya, menyediakan bahu nya untuk aku basahi dengan air mata. 
Aku tak tahu sudah berapa hari aku diam-diam menangis di meja kerjaku. Dan aku juga tak tahu sudah berapa kali ia kabur dari pekerjaannya untuk sekedar mengusap-usap punggungku.
Aku tak tahu.
Sampai akhirnya aku mulai bisa menerima kenyataan. Aku sudah tidak menangis di tengah-tengah pekerjaanku. Walaupun ia masih selalu menengokku untuk memastikan aku baik-baik saja.
Dan aku tahu, kalau Aditya memang dikirim oleh Tuhan untukku, agar aku bisa menghadapi semua ini. Aku merasa dia sebagai penyelamatku, malaikat tak bersayap milikku.

"Hari ini pulang sama siapa?" 
"Sendiri lah Dit, kaya biasa. Lagian mau sama siapa?" aku tertawa.
"Tapi kan ini udah jam delapan malem ta."
"Aku pake taksi ko." 
Ia memandangku, mata nya menyorotkan ketidakyakinan. 
"Udah lah, sama aku aja. Sekalian aku mau ada perlu. Tunggu disini, aku bawa motor aku dulu."
Ia menyerahkan satu helm dan jaketnya. Aku mengenakannya. Dan kemudian motornya melaju meninggalkan halaman parkir kantor kami.
"Rumah kamu disebelah mana ta?"
"Jalan Melati, nomer 5 Dit."
"Ngga ada perlu apa-apa lagi kan? Kita langsung kesana ya.."
"Loh? Katanya kamu ada perlu makanya mau lewat sini?" Aku mendekatkan badanku kepadanya, agar suaraku bisa lebih jelas terdengar olehnya.
"Hmm, engga jadi deh ngga apa-apa lagian udah tutup kalau malem." Mungkin hanya perasaanku, tapi aku merasa ia salah tingkah.
"Loh?"
Di perjalanan ini, entah bagaimana aku merasa ada banyak kupu-kupu di perutku. Aku merasakan gelenyar aneh yang dirasakan oleh tubuhku. Dan aku menyukai sensasi ini.

Seperti alam ikut bekerja sama, kini segala hal tampak membuat aku berada terus disampingnya. Tiba-tiba saja aku dan dia ditempatkan di bagian yang sama untuk sebuah acara besar yang diadakan kantorku. Itu membuat aku seakan harus terus bersamanya. Kini makan bersamanya sudah menjadi sebuah kebiasaan, baik untuk sarapan, makan siang ataupun makan malam. Hampir setiap pagi Aditya datang kerumahku, untuk sarapan bersama sekalian menjemputku. Aku sendiri senang karenanya. Mama dan papa tampak tak mau menempati rumah ini lagi, jadi aku sendiri disini. Rasa nyaman dan rasa tak mau kehilangan semakin menguasai perasaanku.

Ternyata hampir 10 bulan kami saling mengenal. Kami memang dekat, tapi ya hanya sekedar dekat. Aku tak bisa berbohong, terkadang aku mengharapkan sesuatu yang lebih daripada ini. Terkadang juga, aku takut perasaan ini hanya satu arah.

Hingga akhirnya aku bertemu hari ini. Sudah beberapa minggu aku merasa dia berbeda. Dia tampak lebih berseri-seri daripada sebelumnya. Dia juga terlihat lebih bersemangat. Aku takut, dia jatuh cinta.
Sore ini aku bertemu dengannya, di tempat biasa kita makan bersama. Dan oksigen seakan menghilang, sangat sulit untuk aku menarik napas. Otakku terasa macet, dan mataku panas. Aku melihatnya menggandeng perempuan itu, perempuan yang tak begitu kukenal. Aku buru-buru menghapus airmata yang mulai memenuhi pelupuk mataku saat ia mendekat.
"Hai" wajahnya memerah saat ia menyapaku.
"Apaan itu muka pake merah segala? Sok imut gitu!" aku tertawa, ya berusaha tertawa dengan wajar lebih tepatnya.
Dia duduk tepat didepanku, tersenyum salah tingkah, juga terlihat malu. Aku balas terseyum padanya. 
"Kenalin, ini...." 
Dia mengenalkan perempuan itu padaku. Tapi telingaku seperti tak berfungsi, telingaku menolak mendengar apapun yang ia katakan. Aku hanya mampu mengangguk dan tersenyum saat..tampaknya, ia berpamitan padaku. Aku melihatnya menggandeng perempuan itu lagi, dan akhirnya menghilang dari pandanganku.

Malaikat tak bersayap milikku sudah memiliki sayap sekarang. Ia sudah terbang menyusuri jalan hidupnya sendiri. Berbahagialah bersamanya. Mungkin selama ini memang hanya aku yang terlalu banyak berharap dan menganggap lebih segalanya. Karena dekat, bukan berarti harus selalu mengarah pada hubungan yang lebih serius. Terimakasih, dulu pernah menyelamatkan hidupku.

No comments:

Post a Comment