2014/09/26

Aku Bukan Matahari

Akupun tak menyangka bisa merasakan lagi hal-hal seperti ini.
Merasakan hangatnya jari-jariku yang digenggam erat olehnya. Merasakan hangatnya rangkulan darinya. Merasakan jantung yang berdetak lebih cepat saat akan bertemu dengannya. Merasakan perasaan salah tingkah dan mungkin dengan wajah yang memerah saat aku melihat tatapannya lurus, tajam, tertuju padaku. Merasakan pundaknya yang kini sering dibebani oleh kepalaku.

Mataku masih tak bisa lepas dari matahari sore ini. Begitu jelas, bulat, berwarna oranye kemerahan. Awan-awan disekelilingnya seakan mengerti untuk tetap berada di sekeliling matahari dan tidak menghalangi cahayanya.

"Sunsetnya bentar lagi..."
"Iya, semoga ngga ketutup awan ya."

Aku melihat sekeliling. Bangunan ini adalah satu-satunya bangunan tinggi yang dimiliki desa ini dan dari sini aku dapat melihat kuning-hijaunya sawah, gunung yang cantik di sebelah timur, rumah-rumah yang mulai menyalakan lampu pijarnya, dan..seringkali aku melihat bulan tepat berada di atas kepalaku, ditemani ratusan bintang yang bersinar terang.

"Kamu bawa sweaternya, Bi?'
Aku mengangguk dan mengeluarkan sweater itu.
"Pake. Ini anginnya udah makin kerasa."

Katakanlah aku begitu beruntung bertemu dengannya di tempat ini. Dengan banyaknya pekerjaan serta diri yang merasa sangat terisolasi disini, aku ternyata bisa bertahan. Iya, walaupun dengan tidak adanya televisi, listrik seadanya, air yang terbatas, bahkan sinyal telepon genggam yang tidak pernah muncul...ternyata aku masih bisa merasakan suatu hal yang disebut nyaman. Kalau boleh sombong, aku ingin mengumumkan pada dunia bahwa aku sedang berada pada titik ternyaman yang aku definisikan sebagai aku tidak merasa terbebani oleh apapun yang biasanya aku keluhkan. Mengetahui wujud seseorang yang selalu ada untuk aku dan aku sebisa mungkin juga selalu ada untuknya, mendengarkan cerita, berdiskusi untuk menyelesaikan masalah, atau sekedar untuk menjadi anak kecil yang manja...ya mungkin itulah salah satu alasan adanya rasa nyaman ini.

"Bianca..."
"Ya?"
"Kamu pulang minggu ini?"
"Iya. Jakarta udah kangen aku, hampir tiga bulan aku nggak pulang."
"Hmmm..."
"Empat hari aja kok. Hari Minggu aku udah kesini lagi."

Dalam empat hari itu saja aku yakin aku akan sangat merindukannya. Baru tiga sampai empat jam saja aku tidak melihat dia, entah ada perasaan apa tapi yang jelas aku ingin secepatnya bertemu kembali. Aneh memang. Seperti anak SMP yang baru bertemu cinta monyetnya. Menggelikan tingkahnya.

Matahari semakin turun meninggalkan semburat kemerahan di langit yang mulai gelap. Matahari itu sendirian, namun begitu indah. Sedangkan aku menemukan diriku kembali ke belakang, mengingat aku yang semakin terjatuh kedalam perasaan ini, kedalam kegelapan. Melupakan hal-hal penting, meninggalkan berkas-berkas data pasien di dalam kamar, kehilangan kunci, notes, dan banyak barang lain di setiap harinya. Tapi selalu ada dia disitu, dengan sabarnya menghadapi paniknya aku dan teriakanku saat aku menyadari aku melupakan sesuatu. "Kamu kalo panik jadi berantakan. Makanya, dibilangin sama aku aja. Kalo panik tetep aware!"
Atau saat aku kebingungan, harus memilih ini atau itu, harus berbuat ini atau itu, sesuatu yang tak bisa aku putuskan sendiri. Dia hadir lagi diantara kebingunganku kali ini. "Kalau kamu pilih itu, kamu bakal blablabla. Nah kalo kamu pilih ini kamu bakal blablabla". Memberi jalan keluar, bukan sekedar ucapan agar aku diam.

Aku bukan matahari yang bisa menjadi begitu indah walaupun hanya sendiri. Semakin lama semakin aku menyadari kalau aku membutuhkan seseorang yang bukan sekedar hadir untukku, tapi juga menemani setiap langkah, menyadarkan ketika salah. Aku bukan matahari dan aku bersyukur karenanya, aku memiliki dia.

"Mataharinya udah bener-bener hilang sekarang, Bi."
"Iya...untung aku bukan matahari."
"Maksudnya?"
"Yaa..gitu pokoknya."
"Pulang yuk. Udah gelap."

Aku malah semakin mendekat kepadanya, menyandarkan kepalaku dibahunya. Ia balas merangkul aku dan ini membuatku semakin malas untuk beranjak dari atap gedung ini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, jika aku dan dia sudah tidak sama-sama berada disini. Sebuah harap, jangan kemana-mana. Aku bukan matahari yang bisa sendiri. Aku bukan matahari yang dapat menyapanya dimanapun dia berada. Aku juga bukan matahari, yang menghangatkan namun berada jauh dengannya.

2014/09/02

Edelweiss

"Aku mau ketemu, boleh ya?" Suara itu lagi-lagi menghampiri telingaku.
"Ada apa?"
"Ada sesuatu yang harus kamu lihat."
"Aku sibuk."
"Please... Nggak akan lama kok. Janji deh." Suara itu masih tetap bersemangat.
"Aku gabisa, nggak ada waktu kosong."
"Di jam istirahat makan siang kamu deh. 5 menit aja. Ayo dong..."
Aku menghela nafas panjang, bingung menghadapi permintaan Harry.
"Oke. Besok ya, jam 5 sore aku udah dirumah."
"Thanks ya, Dee."
Klik. Aku segera mengakhiri pembicaraan agar tidak memanjang.


Entah mengapa sejak pagi aku merasa tak karuan. Aku memilih pulang cepat, pukul empat sore aku sudah berada dikamarku. Dan tepat pukul lima, aku mendengar deru motor Harry, detak jantungku semakin berpacu cepat. Aku mencoba membuat jantung ini berdetak dengan normal, namun sia-sia usahaku.
"Hai. Long time no see ya, Dee?"
"Hai." Aku masih belum sanggup menatap matanya.
"Kabar baik?"
"Hmm..."
"Nih. Aku bawa oleh-oleh buat kamu." Tak sengaja ia memegang tanganku saat menyerahkan sebuah kotak, perasaan seperti tersengat listrik itu muncul.
"Aku nggak minta oleh-oleh. Dan aku juga nggak tau kamu abis dari mana."
"Cinta itu, memberi tanpa pernah diminta dan tanpa paksaan."
"Nggak usah ngomongin cinta, Har." Aku menyimpan kotak itu di meja.
"Oke, sorry. Buka dong kotaknya."
Aku mulai membuka pita yang mengikat kotak kuning tersebut. Sebuah scrapbook. Aku membuka halaman pertama scrapbook tersebut. Foto bintang-bintang yang begitu indah, begitu banyak, berkilauan, dengan warna langit yang menakjubkan. Aku mulai tersedot ke dalam foto itu, meraih bintang-bintang yang bertebaran.
"Pertama aku melihat bintang itu, hanya satu dalam pikiranku. Kamu harus melihatnya juga. Aku harus menunjukan ini kepadamu. Aku mencoba mengabadikan kemilau bintang itu di kameraku. Dan kamu harus tahu itu sulit sekali. Berkali-kali aku gagal sampai teman-temanku mengatakan setelahnya moodku menjadi kurang baik. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk menghampiri tenda sebelah, untuk..yaaa sudahlah. Kalau aku ceritakan akan sangat panjang, dan yang penting akhirnya aku bisa menunjukan bintang-bintang ini."
Aku memang sangat menyukai foto itu. Dalam hati memang aku berkata bahwa bintangnya cantik, tapi bibirku masih terlalu kaku untuk mengutarakannya.
Di halaman selanjutnya, foto bunga...
"Edelweiss."
"Kamu abis dari..."
"Itu memang bukan edelweiss atau bunga Leontopodium yang ada di alpen sana, ini cuma Edelweiss Jawa. Tapi... ya aku harap kamu suka."
Aku tersenyum, walaupun masih menunduk menatap scrapbook, dan aku berharap ia tak melihat senyumku.
"Aku tahu kok, dapetin bunga ini nggak gampang. Aku tahu kok, butuh banyak perjuangan buat ini. Nggak sekedar petik di pinggir jalan."
Kini aku menatapnya. Menyimpan scrapbook itu, mendekatinya, kemudian mencubit lengannya.
"Apa-apaan sih kamu? Aku makin nggak tau kapan aku bisa berhenti jatuh cinta sama kamu kalau begini. Terimakasih, Har."
Aku melihat senyum ketulusan itu.
"Aku yang dicubit kenapa kamu yang nangis?"
Aku terdiam, Harry melanjutkan,
"Kamu nggak perlu berhenti jatuh cinta, Deeana. Di kotak itu, masih ada oleh-oleh lain. The real edelweiss, bukan hanya foto. Tapi maaf, aku nggak bisa bawa bintang-bintangnya."
"Nakal kamu! Nggak boleh petik bunga ini." Aku kembali mencubit lengannya. Untuk meluapkan perasaan ini.
"Sedikit ko Dee... I'll do everything for you. Dan menurut mitos, ini kan bunga abadi. Kalau kita kasih bunga itu, cintanya akan abadi."
"Aku udah bilang, jangan ngomong soal cinta." Aku mulai menjauh. Mengembalikan scrapbook itu kedalam kotak.
"Dua tahun itu bukan waktu yang singkat, Dee. Kalau kamu masih cinta, dan akupun begitu, malah lebih daripada kamu, kita bisa kan kembali lagi? Why not? Apa sih yang menghalangi perasaan kamu ini?" Harry mencoba meraih tanganku, aku menariknya.
"Apa? Harus berapa kali aku menyadarkanmu? Kita beda Har, kita beda. Tuhan kita berbeda. Nggak semua yang saling cinta itu bisa bersama."
"Dee..."
"Aku nggak mau jatuh cinta semakin dalam. Aku nggak mau membiarkan diri ini terjebak. Iya Har, dua tahun itu memang tidak singkat. Dan aku nggak mau lebih lama lagi. Aku takut aku semakin nggak bisa lepas dari kamu."
Harry terdiam dan aku mati-matian menahan air mata ini.
"Kalau kita sama-sama tahu pada akhirnya kita tak bisa bersama, untuk apa kita memperjuangkan ini? Silakan pulang Har, waktu lima menitnya sudah jauh terlewat."
"Dee..."
Harry beranjak, melewati pintu untuk pergi. Dalam waktu yang sama, hampir seluruh hati ini ikut melewati pintu itu. Hampir raga ini tak sanggup menahan untuk mengejar hati yang turut pergi, melayang ke langit yang penuh bintang. Saat aku menutup pintu, aku tak tahu bisa bertahan atau tidak. Cinta kita abadi Har...tapi bukan untuk bahagia.

2014/03/25

Berjuang dalam diam

Dua insan yang menyembunyikan suara masih saling menatap. Ditemani hujan dibalik kaca serta kopi yang masih mengepul. Juga lampu – lampu kendaraan yang rak pernah berhenti melewati kafe yang sepi itu. Kelewat sepi sebenarnya, hanya mereka berdua dan beberapa pelayan yang saling bergosip.
“Kata orang, cinta itu harus disampaikan…” Gadis berambut hitam tebal itu mulai membuka suara.
“Hmm…”
“Kata lagu, when you love someone just be brave to say that you want him to be with you.” Kata gadis itu lagi.
“Oh iya? Emang cinta itu apaan sampe kayaknya begitu penting?” akhirnya lelaki itu menanggapi ucapan si gadis.
“People says that, love is putting someone else’s needs before yours.”
“Kata orang mulu deh perasaan. Kata kamu sendiri cinta itu apa?”
Mata gadis itu menerawang jauh, “Cinta itu… kayak bilangan 0 yang dibagi angka lainnya, tak terdefinisikan.”
“Jadi nggak bisa dijelasin dong?”
“Loh emang iya kan? Kalo cinta, kalo sayang, ya tinggal tunjukin.”
“Pinter!” kata lelaki itu sambil terus mengaduk kopinya.
“Kalau bisa dijelasin pake kata – kata itu bukan cibta. Yakin deh, perasaan yang dirasa itu nggak bakal bisa dijabarin pake kata – kata kalau kamu bener ngerasa sayang. Karena itu tuh jauh dari dari sekedar kata bahagia.”
“Emang bisa ya? Tanpa kata – kata kita ngasih tahu kalau kita sayang?”
“Bukan tanpa kata – kata juga sih, tapi yaaa… semacam… Baca ini deh, buku kumpulan surat gitu. Keren kok.” Gadis itu menyodorkan buku dari tas ranselnya.

Talk Less Do More, Itu Kamu!
Selamat malam…
Seperti biasa aku menulis surat ini untukmu, di setiap malam. Mengapa aku selalu menyertakan judul dalam suratku? Karena agar berbeda dengan yang lain. Alasannya jelas bukan? Karena kamu berbeda, kamu istimewa.
Hari ini, aku terkejut dengan semua kelakuanmu. Selalu terkejut sebenarnya, kamu selalu berhasil membuat aku jatuh cinnta di setiap helaan nafasku. Lagi dan lagi…
Hey, hari ini kamu begitu dahsyat. Bukan…bukan seperti Olga dan Raffi di sebuah statsiun televisi itu. Kamu, kamu memang jarang mengatakann ‘I Love You’ tapi aku selalu bisa merasakannya. Oh! Malah sepertinya aku belum pernah mendengar kamu langsung mengucapkan kalimat itu. Tapi, semakin kita dewasa, semakin kita akan mengerti kalau cinta itu dibuktikan, bukan diucapkan.
Tingkahmu selalu mampu membuatku melayang dan membangunkan kupu – kupu yang tertidur lelap di dasar perutku.
Hari ini, tiba – tiba kamu memintaku untuk menjemputmu di bandara. Kamu datang tanpa memberi tahu sebelumnya. Dan tanpa mempersiapkan apapun, aku langsung menuju bandara, tak mau membuarkanmu menunggu lebih lama. Di balik kaca itu, akhirnya aku melihat senyummu. Kamu, memegang sebotol air mineral dan hanya membawa ransel yang tidak begitu besar, benar – benar backpacker ya kamu sayang. Dan saat mata bertemu mata tak ada lagi kata yang bisa terucap. Dalam keheningan itu hanya dekapan yang mampu menjelaskan. Aku ternyata benar – benar merindukanmu, dan melihat kamu sekarang disini, dihadapanku sudah cukup mengobati rasa rinduku pada rumah, kampong halaman. Tanpa bertanya apakah aku ada keperluan lain atau tidak, kamu mengeluarkan dua tiket untuk masuk ke Vienna State Opera. Entah bagaimana caranya kamu mendapat tiket itu. Dan tepat pukul 19.00 kita sudah duduk di salah satu bangku didalamnya, larut dalam alunan orchestra yang begitu lembut dan megah. Aku, kamu, dengan pakaian informal yang benar – benar simple. Kaus tebal dipadukan dengan pakaian hangat juga syal dan sarung tangan. Sangat berbeda dengan tamu lainnya yang begitu rapi, memakai gaun dan tuksedo. Tapi aku sungguh tak peduli, apalah arti gaun – gaun itu jika aku disini tanpa dirimu?
Setelahnya kamu mengajakku untuk makan di sebuah tempat makan yang bahkan, selama hampir 2 tahun aku tinggal di Vienna, aku tidak tahu. Diatas bukit, bintang bertaburan, lampu – lampu kota seluas mata memandang, juga dua buah lilin yang menghiasi meja.
Lagi, aku melihat teduhnya matamu di cahaya yang redup ini. Sepasang mata yang selalu aku rindukan, sepasang mata yang selalu bisa mewakilkan ucapan – ucapan yang tampaknya begitu sulit untuk kau ucapkan langsung.
Perempuan memang akan terlena pada lelaki yang mulutnya sering mengucap pujian, janji atau kata – kata indah nan romantis. Tapi, perempuan akan jatuh cinta pada lelaki yang membuktikan segala ucapannya, atau pada lelaki yang tak mengumbar janji tapi ‘Talk Less Do More’ yang selalu mau berkorban. Iya, seperti kamu.
Seperti kamu 10 bulan yang lalu. Aku masih ingat itu, hari terakhir aku berada di Indonesia. Dan hari itu aku cukup kecewa, Ayah dan Bunda yang sudah berjanji akan mengantar ke bandara, melepasku lagi untuk menuntut ilmu disini, tiba – tiba menghilang, sibuk dengan urusan perusahaan yang sama sekali tak ingin aku mengerti. Lalu kamu datang, kamu yang saat itu terpaksa menggunakan taksi, kamu yang saat itu sedang sakit, memaksakan diri agar dapat melihatku dan akhirnya lambaian tanganmu yang terakhir kali aku lihat di Indonesia.
Malam ini terasa begitu benderang. Dan aku tak tahu, mungkinkah ada rasa nyaman yang lain, yang bisa mengalahkan ini? Hm, aku rasa tidak. Dan besok, aku yakin kita akan melewati sehari yang indah di Vienna ini. Aku juga yakin, kamu punya berjuta kejutan untukku besok.
Selamat malam, selamat beristirahat.
Love.

“Terus? Besoknya itu mereka ngapain aja?”
“Ya mana aku tau sih.. hahaha” Gadis itu tertawa renyah. “Tapi sedih ya, buat ketemu aja butuh waktu berbulan – bulan. Kepisah benua apa rasanya coba?”
“Kamu sendiri kalau misalnya ditugasin ke luar negeri mau?”
“Engga.”
“Btw… Jadi? Cinta itu nggak harus diucapkan kan?”
“Nggak selalu harus. Tapi aku kurang setuju loh.. Mau nggak mau, cinta itu harus disampaikan. Ya… bukan berarti harus bilang I Love You, tapi pokoknya harus tersampaikan deh. Pokoknya biar nggak ada salah paham gitu…”
Lelaki itu terdiam, memperhatikan pasangan yang baru saja duduk di meja sebelahnya.
“Buat aku, kalau suka sama seseorang itu harus ditunjukan, dan jangan sampai mereka pergi karena menunggu kita. Apapun hasilnya, yang penting kita tau… apapun hasilnya yang penting kita nggak nyesel nantinya.”
“Kamu mau PJ?” lelaki itu tiba – tiba bertanya.
“Hah? Pajak Jadian maksudnya? Kamu… jadian sama siapa? Kenapa belum cerita?”
“Belum pasti sih… soalnya, tergantung kamu nerima aku atau enggak… Kamu mau nggak jadi pacar aku?” tak bisa disembunyikan lagi kegugupan dari lelaki itu.
Sang gadis memang terkejut,ia terdiam,  tapi semburat merah dan senyumnya seakan menjawab segalanya.
“Kenapa nggak jawab? Jawabannya enggak ya? Ya… nggak apa – apa sih, yang penting aku nggak akan nyesel, aku udah tau jawaban kamu apa…”
“Kenapa kamu tiba – tiba nanya kayak gitu ke aku?” gadis itu masih tersenyum.
“Karena… aku nggak mau nyesel. Aku nggak mau kamu nggak tau perasaan aku yang sebenernya. Aku pengen kamu tau, selama ini perhatian dan segala yang aku korbanin buat kamu itu nggak cuma sebatas perasaan temen ke temen. Maaf, selama ini aku yang terlalu gengsi, aku yang terlalu banyak mikir pantes enggak kamu buat aku. Aku yang selalu mikir kalau aku ngga pantes buat kamu, kamu terlalu baik buat aku. Ya, kamu tau kan sekarang?” lelaki itu kini kehilangan warna diwajahnya, menunduk dan kembali mengaduk – aduk kopinya yang hampir habis.
“Aku nunggu ini tau nggak? Nggak tau udah berapa tahun aku cuma berimajinasi kamu mengucapkan kata – kata itu. Aku juga bukan nggak mau nunjukin perasaan aku kok, aku cuma bingung caranya dan aku takut perasaan ini itu ternyata satu arah. Jadi? Mana mungkin aku jawab enggak?”
Hening yang cukup panjang setelah jawaban dari sang gadis meluncur. Hujan diluar sudah mulai reda, hanya tetesan – tetesan air yang kini tersisa. Suasana masih begitu sunyi. Gadis itu masih tetap tersenyum.
“Saranghaeo” bisik lelaki itu akhirnya.
“Apa? Nggak kedengeran…”
“Nggak usah nyuruh aku ulangi kata itu. Kamu sendiri tau aku bukan orang yang bisa bilang I Love You dengan mudah.”
“Saranghaeo… Makasih ya… PJnya jangan lupa.”

Dan tawa berderai sesudahnya. 

2014/03/05

Jarak

Beribu kalimat telah kuucapkan.
Berjuta-juta huruf demi huruf telah kutuliskan.
Tentang kamu, kepada kamu.

Aku tidak benci pada jarak, aku hanya pernah mengeluh. Mengapa kita tidak ditakdirkan untuk berada di tempat yang sama? Mengapa kau tidak disini saja disampingku?
Ah... Biarkan jarak menjadi penghias kita berdua, biar rindu yang datang bermakna. Biar kita rasa sesak di hati yang begitu luas ini. Biar kita mengerti, rasa ini tak tergantikan. Biar kita mengerti, segala yang berharga butuh pengorbanan. Biar kita tahu, jarak tidak menghalangi rasa sayang. Aku disini menjaga hati. Begitu pula kuharapkan kau disana. Menjaga ikatan tulusnya perasaan.

Jangan pernah memintaku untuk menjelaskan perasaan saat aku jauh darimu. Itu tak pernah bisa kujelaskan karena aku tak pernah merasa jauh, aku selalu merasa dekat. Sedekat aku yang bisa mendengar detak jantungmu saat kau mendekapku. Aku selalu bisa merasakanmu disini, di hati.

Pikiranku sering melayang bersama angan ke tempat kau mencari ilmu. Ke tempat yang begitu asing dan sepi buatku. Khayalku terkadang  bekerja melebihi otak dan hatiku, berimajinasi sesaat setelah aku membuka mata kau berdiri di hadapanku. Dan saat aku mendengar bisikan suaramu di ruang tak berpenghuni, itu artinya aku benar-benar merindukanmu.

Mencintai kamu dalam jarak bukan hal yang berat, kecuali saat menahan rindu, rindu melihat teduhnya matamu yang memancarkan kasih saat menatapku. Jika banyak orang yang berkata jarak itu perusak, aku tetap akan bertahan. Apa daya perusak itu jika cinta yang kubawa begitu besar? Jarak yang akan mengalah.

Surat Untuk Sang Jagoan

Entah bagaimana aku harus mendeskripsikan dirimu..
Aku takut semua tentang dirimu kutulis berlebih. Ya memang karena kamu bukan sekedar kamu dimataku. Apa yang kau anggap biasa akan terlihat luar biasa untukku. Bukan karena ketampananmu, atau karena perawakanmu.. Aku hanya.. Aku suka perasaanku saat aku didekatmu! Rasa yang menggelitik perut, membuat jantung berpacu lebih cepat, dan senyuman yang diam-diam menampakan diri.

Jika ini bukan cinta, apa yang akan kau sebut? Ah, abaikan. Biarlah apa saja bisa dikatakan.
Aku bahagia dan bersyukur bisa mengenalmu. Mengenal seseorang yang setelah sekian lama ternyata selalu ada untukku. Seseorang yang bersedia menerima tumpahan air mata dan mampu menyembunyikan lukanya yang ikut luruh bersama air mataku itu. Seseorang yang lama menyembunyikan perasaannya. Seseorang yang sampai saat ini tetap nyata dihatiku. Rumahku.

Janganlah pergi tanpa memberi tahu, seperti kemarin. Jangan juga pergi terlalu lama. Rinduku akan sulit dibendung. Jangan biarkan aku kosong sampai airmata ini habis. Jangan pula kamu biarkan aku mencari jejakmu yang pelan-pelan dapat kulihat.

Rumahmu ini butuh penghuni. Rumahmu rindu suaramu yang biasa terdengar, bercerita..tertawa.. Rumahmu ingin kau ada, agar kehangatan didalamnya terasa kembali.
Rumahmu..benar-benar merindukanmu.

Kepada Kamu,
Jagoan

2014/02/12

HUKUM KEKEKALAN PERASAAN


“Iya, aku udah di siap sedia di depan rumah. Lagi pake sepatu, kamu dimana?” Tania menjawab sambil membetulkan earphone-nya. Sore ini Tania diajak jalan putar kompleks oleh sohibnya, Dion.
“Ohh oke. Jangan lama yeeee.” Tania mengakhiri pembicaraannya. Tak lama kemudian Dion datang dan Tania segera beranjak dari kursinya.
Lagu Good Time dari Owl City terdengar kencang dari earphone Tania, “Heeeh parah! Sampe kedengeran gitu itu musik. Nggak kebayang telinga kamu kayak apa ntar jadinya.”
“Masalah buat kamu?”
“Masalah lah! Lah aku ngajak kamu lari kan mau curhat, kalo kamu terus-terusan pake barang yang nempel ditelinga kamu itu gimana aku bisa cerita?” Dion berkata dengan jengkel. Melihat sahabatnya itu Tania tertawa lalu mengecilkan volume musik dari handphone-nya.
“Oke. Ada masalah apa Tuan Dion yang Terhormat?”
“Bukan masalah sih sebenernya. Kamu kenal Anata?”
“Anak Sastra Jepang itu? Yang cantik, putih, kecil-kecil imut, lemah lembut, hmm yang kayak aku banget ya?”
“Hiih kayak kamu apanya! Hueekk ” Dion menjawab sambil berpura-pura muntah.
“Ih kamu kan emang pernah bilang aku cantik?”
“Kapan?”
“Pas acara perpisahan SMP kita. Kamu bilang, ‘Kamu cocok pake baju itu’ sambil senyum!”
“Ada kata cantiknya? Enggak kaaaan? Gini nih ya, cewek suka ngebesar-besarin..”
“Wahaha becanda Diooon. Aku tau ko kamu nggak pernah liat aku sebagai cewek seutuhnya. Jadi? Kenapa sama Anata?”
“Enggak ada apa-apa sih. Cuma kemarin-kemarin aku beberapa kali jalan bareng.” Dion menepi dan duduk di rerumputan. “But, yeah. Aku sih berharap lebih, nggak tau dia gimana. Tapi, nggak tau. Aku nggak yakin aku udah move on.”
“Labil amat mas! Kayak abege aja hahaha” Tania kini merebahkan dirinya di rerumputan. Dion mengikuti gerakannya.
“Pokoknya ya…Pesen aku tetep sama. Kalo PDKT itu jangan kelamaan, kasian ceweknya tau. Nunggu, tapi nggak jelas nunggu apa. Nah ntar-ntarnya malah nunggu aja terus sampe bulukan. Pas udah bulukan, eh si cowok nembak, itu perasaan si cewek udah ngelelep kedasar laut terdalam!”
“Pengalaman Mbak? Hahaha”
“Ih udah deh!” Tania mencubit lengan Dion.
“AW! Sakit tau! Jadi? Aku harus gimana?” Dion mengusapp lengannya.
“Dengerin hati kamu.” Tania kini memejamkan matanya. “Kamu tau nggak perasaan cewek kalo ada cowok yang hmm pokoknya kalau ada cowok yang ‘he knows how to treat a girl’ or ‘he treats us like a princess’?”
“Enggak.”
“Aku tauuuu! And really this is an amazing feeling.” Deretan gigi putih berbehel Tania terlihat.
“Lah nyengir? Haha siapa cowok yang treats you like a princess?” Dion langsung terduduk.
“Yang pasti bukan kamu!”
“Siapa? Tau ah nggak cerita!”
“Ya inikan cerita… Namanya…Elang. Good name, isn’t it? Dia temen sekelas aku di kampus, aku nggak tau gimana awalnya yang jelas sekarang aku lagi deket sama dia. Dan kamu perlu malah harus tau kalo dia cowok yang bener-bener baik, care, perhatian…haaaa kalau jadi pacarnya pasti bahagia deh! Kemarin juga aku jalan sama dia.”
“Oh? Jadi bentar lagi ada yang mau jadian nih? Oke!”
“Dih ko sewot? Ko nggak seneng sahabatnya punya gebetan? Nggak tau ah!”
“Pulang yuk. Udah sore, mendung juga.” Dion sudah berdiri.
“Ih aku masih pengen disini.”
“Yaudah, aku duluan. Bye.” Berlari kecil, Dion meninggalkan Tania yang masih berbaring di rerumputan.

~

Malamnya seperti biasa Tania pergi kerumah Dion untuk belajar bersama. Atau lebih tepatnya untuk mengerecoki Dion yang fokus pada tugas-tuganya. Atau yaaaa terkadang Tania menanyakan beberapa materi.
“Sesuai perjanjian ya, kalau malem…nggak ada curhat-curhatan. Ini waktunya belajar. Dan nggak ada suara musik dari earphone kamu. Dan…”
“Dan nggak ada Tania yang gangguin Dion. Entah itu mukulin Dion atau cubit-cubit Dion. Oke.” Tania menyelesaikan perkataan Dion.
30 menit pertama Tania masih kuat diam dan mengerjakan makalahnya. 30 menit kedua Tania bulak-balik mengecek handphone-nya. Dan pada 30 menit ketiga Tania berkata, “Ini udah hampir satu setengah jam Dion. Aku udahan ah ngerjain tugasnya. Capek! Tapi, aku mau cerita ya, bukan curhat ko… Ya ya ya?”
“Yaudah silakan cerita, tapi aku sambil gambar ya…”
“Tau nggak? Temen-temen aku tuh pada nyangkain kita pacaran loh. Pokoknya kamu itu terkenal banget di kelas aku. Padahal aku yakin sebagian besar dari mereka nggak tau Dion itu yang mana.”
“Ohiya?” Dion kini meletakkan alat-alat gambarnya, mulai memperhatikan Tania.
“Iya hahaha. Mereka tuh ya apa-apa nyebut Dion kalau lagi ngomong sama aku. Terus ah pokoknya segala hal tentang aku pasti disangkut-pautkan sama kamu.”
“Ko bisa sih? Hahaha”
“Nggak tahu deh hahaha. Tapi aku bete jadinya, ntar gimana kalo Elang nyangkain kita beneran pacaran? Haaaa…”
“Bilang aja kita cuma sebatas temen Tan. Ohiya, kalau kamu udah beres pulang gih, ada kamu aku nggak fokus, berisik.”
“Ngusir? Oke!” Tania membereskan buku-buku dan laptopnya.
“Bukan… Ini udah malem kan? Kasian kamu kalau kemaleman. Selamat malam Tania, istirahat ya.” Dion tersenyum
“Terserah.” Tania pergi tanpa menatap Dion lagi.

~

“Aku beteeee pokoknya. Biasanya juga Dion nggak nyuruh aku pulang cepet gitu Kak…” Tania duduk disebelah kakaknya.
“Dia mau ujian kali Tan…”
“Ah enggak kok, biasanya mau ujian atau apa juga aku nggak pernah diusir begitu.”
“Atau kamu yang duluan bikin dia bete. Bisa kan?”
“Tadi tuh aku lagi ngomongin soal aku yang disangka pacar Dion, nah aku bilang aku takut Elang nyangka beneran, ntar dia mundur gimana? Nah abis itu Dion nyuruh aku balik deh. Tapi ya Kak, yang aku nggak ngerti… Dion kok nggak marah sih aku disangkain pacarnya? Pas aku bilang dia malah ketawa-ketawa masaaaa.”
“Ya emang nggak harus marah kan?” Talia bertanya.
“Enggak sih ya mungkin karena emang kita deket. Tapi kan dia juga lagi deket sama cewek. Kalo aku ya nggak suka lah Ka disangkain begitu. Apalagi ya kalo yang nggak saling suka, kan suka jadi gimanaaaa gitu, ngerti kan?”
“Dion juga kan nggak, nggak suka sama kamu?”
“Hah?”
“Dion emang suka kan sama kamu?”
“Ya tapikan itu dulu Kak… sekarang enggak”
“Siapa bilang? Perasaan itu nggak akan ilang Tan.”
Tania terdiam mendengar ucapan Kakaknya itu.
“Nanti aku mau bikin hukum kekekalan perasaan.” Tambah Talia.
“Gimana persamaannya?” Tania menantang Kakaknya untuk segera membuat persamaan dari hukum tersebut.
“Jadi gini, sayang + benci > 0. Dengan asumsi benci adalah sesuatu yang benilai negative, maka… sayang – benci > 0.”
“Tapi nggak bisa gitu Kak!” Tania menyanggah. “Alasannya, angka tidak bisa menilai besar sayang dan benci, maka… sayang – benci = ~. Tidak terdefinisikan.”
“Kamu jadi pinter bikin persamaan ya? Hahaha” Talia mengacak-acak rambut Tania.
“Aku sendiri aja takjub denger itu keluar dari mulut aku. Hahaha. Tapi ya emang gitu Kak, suka, sayang, cinta, ataupun benci itu nggak bisa dinilai besarnya. Nggak keliatan kaya gelombang suara, tau-tau ada, tau-tau kerasa. Tapi ada sumber suaranya.”
“Nah itu…Dan kamu juga jadi tau kan? Dimana sumber suara kamu itu?”
“…”

Inspired by: @afifahnurs






2014/02/05

move on itu indah

Ngga ada yang salah dengan kamu mau pacaran sama siapa, pacaran dimana, gimana pacarannya. Kamu mau pacaran di Informa terus pake barang-barang disitu kayak punya sendiri, ngayal kalian udah nikah terus punya rumah dengan fasilitas di Informa gitu, kaya si Summer di 500 Days Of Summer, boleeeh. Kalian mau pacarannya jungkir balik di depan rektor, biar dibilang ‘aku punya pacar yang gokil abis’, boleeeh. Atau mau yang islami, pacaran di masjid, pacarannya saling bisik-bisik di tirai pemisah akhwat-ikhwan, boleeeh. Terserah, idup juga idup kamu kok. Presiden ngga protes ini.

Orang yang lagi pacaran tuh macem-macem. Ada yang sampe mikirin, ‘nanti anak kita namanya Cantika ya’. Atau yang bilang ke temen-temennya, “Aku sama Cinta Laura ngga akan putus ko.” Ada juga yang sampe saling janji, ‘Aku ngga akan ninggalin kamu’. Yang subuh, pagi, siang, sore, petang, malem, tengah malem sampe balik lagi ke subuh mikirin pacarnya juga, ada. Yang tiap ngobrol pasti bahas pacarnya, ada. Yang ganti nomer ke operator yang sama biar sms atau telponnya murah, ada. Yang sering ngetweet tapi #nomention, biar ditanya ‘kenapa yang?’ sama pacarnya ada.

Pacaran juga macem-macem. Ada yang pacaran tuh ngasih ‘tata tertib pacaran sama aku’. ( ini asli loh aku pernah ngeliat sendiri). Ada juga yang pacarnya ngelarang segala macem, sampe kamu kayaknya idup tuh cuma buat dia doang. Bahkan buat ngegosip sama sahabat terbaik kamu-pun kamu gabisa. Bahkan buat ketawa-ketawa sama temen kamu-pun gabisa. Dan bahkan…sahabat kamu, butuh kamu-pun kamu ngga bisa. Ada yang kalo mau ngapa-ngapain harus laporan sama pacarnya, ‘yang aku lagi napas’, ‘yang aku mau jalan, ini udah 2 langkah’, ‘yang..dalam 5 menit aku bakal tidur’. Ada yang baru semenit smsnya ngga dibales, pacarnya nanya, ‘tuh kan udah ngilang lagi’. Capek kan bacanya? Apalagi yang ngejalaninnya.
Aku pernah loh ngalamin kayak begitu. Kecuali pacaran di informa, depan rektor, sama di masjid ya…

Dulu, aku tau aku cape. Aku tau aku ngga bebas. Tapi gimana lagi kalo akunya sayang? Tapi gimana lagi kalo aku ngga mau kehilangan dia? Banyak hal ngga logis yang bakal kamu lakuin cuma buat mempertahankan seseorang.


Diperhatikan, dikhawatirkan dan dicintai memang sesuatu yang…keren. Kamu bakal ngerasa bahagia saat kamu sayang, terus disayang balik. Aku nih ya, sering banget ngeluh ke temen-temen deket aku, nangis ke temen-temen aku, galau aja pokoknya. Terus mereka pasti bilang, ‘udahlah deb, daripada gini aja mending kamu ngelepasin dia. Kasian kalo kamunya gini terus.” Tapi apa? Akhirnya aku ngalah, akhirnya aku diem nyimpen sakit hati aku biar kita tetep bareng-bareng. Atau kalo akunya yang marah, akhirnya aku yang bilang, ‘yaudalah gausah dipikirin lagi, maaf ya akunya aja yang lebay’ padahal sakit hatinya masih banyak, tapi aku coba kubur dalem-dalem. Kalo dianya protes, ‘kenapa sih? Masih beda. Masih dingin ke aku.’ Akunya yang jadi ngga enak, padahal kan harusnya dia juga ngerti kalo aku masih sakit hati ke dia. Kenapa aku ngelakuin itu semua? Karena aku sayang, karena aku pikir aku gabisa tanpa dia.
Dan begitu putus, (read:diputusin) aku bener-bener down. Aku nangis parah sampe mata gatau segede apa, males makan, males ngomong. Udah gatau mau ngapain, berasa itu dunia udahan, dia ngga ada aku bisa apa? Lama-lama aku mikir, kenapa aku bisa gini. Jawabannya simple. Terlalu sayang, terlalu bergantung sama dia.

Dan makin sini, makin gede makin nyadar kalo…pacaran yang kaya gitu tuh pacaran yang kurang tepat. Kalo kata @falla_adinda mah, “Pacar yang ngelarang-larang bergaul sama temen yg bahkan udah kita kenal sebelum dia itu…Faklah”. Nah semacem gini. Oke mungkin dia ngga ngelarang, tapi…kita ngga enak kan buat bergaul sama mereka? Soalnya kalo kita sama mereka, tar pacar tiba-tiba beda sikapnya, secara ngga langsung nunjukin gasuka. Duh kalo yang baca ini belom pernah ngalamin pasti ngga ngerti, tapi kalo udah pasti ngerti gimana rasanya…

Makin gede aku makin nemuin orang-orang baru yang…baik. Oke, baik itu relatif. Aku nemuin orang-orang yang jauh lebih baik daripada pacar aku dulu. Orang-orang yang bikin aku sadar pacaran tuh bukan soal sayang dan saling merhatiin. Pacaran tuh soal memberi dan menerima. Pacaran tuh soal menjaga dan dijaga. Kita udah (mulai) dewasa, bukan pacaran kayak anak smp yang ngebatesin ini itu. Pacaran tuh harus tanpa beban, pacaran tuh harusnya bikin kita tenang dan nyaman. Kalo pacaran bikin ngabatin terus mending putus lah. You’ll find another girl, or boy. Yang lebih baik. Yang lebih ngerti. Yang bikin kamu tenang. Dan aku sendiri ngga percaya kalo akhirnya aku ngambil jalan itu. Fyi, moveon untuk mencintai diri sendiri itu indah. Buat menyadari hal-hal tersebut ya emang butuh waktu yang lama, aku juga sama ko. Tapi, bukan berate kita harus cari orang yang sempurna, engga ko. Cuma kalo dia bikin kita ngga jadi diri sendiri, bikin kita seringnya galau? Akusih mending jomblo. Bebas. Da semua juga udah diatur ko, pasti oneday dapet someone, dapet jodoh. Kita juga emang harus usaha buat itu, tapi ya…enjoy your life, masa remaja cuma buat galau mah rugi. huehehe 


  

2014/02/02

Hati dan Sang Pemiliknya

By: Afifah Nursaniyah (@afifahnurs)

"Udah aku bilang, jangan gampang terbang kalo kamu belum siap jatuh. Ujung2nya sakit lagi, kan?" kata sang pemilik hati kepada hati.
Hati seakan menimpali, "ya kamu ga pernah ngerti gimana aku. Aku selalu berusaha buat ngelakuin apa yang kamu suruh, tapi aku tetep ga bisa"
Kemudian setelah 'mendengar' apa yang diungkapkan hati, sang pemilik pun terdiam, berfikir. Dari raut wajahnya terlihat dia sedang sangat letih. Letih akan perdebatannya dengan hatinya sendiri, letih akan hatinya yang enggan menuruti perkataannya, letih akan semua yang terjadi pada dirinya dan juga pada hatinya, tentu saja.
Sang pemilik kemudian berbisik 'hati memang tak salah. Hati juga pasti tak ingin melakukan hal yang aku larang. Soal dia terbang dan jatuh, aku yakin itu bukan selalu terjadi karena kehendaknya. Sekarang aku akan mencoba untuk tidak selalu berdebat dengannya. Tapi aku akan berusaha agar hati tak menguasai diri.'

2014/01/16

PGS UNPAD 2014

Pengabdian Kepada Masyarakat..
ini baru hari ke 4 ikut sosialisasi dan udah banyak banget pelajaran baru yang didapet. 
dateng ke SMA - SMA yang di pelosok, terharu sama cahaya dari mata anak-anak kelas 3 yang pengen banget kuliah tapi takut karena saingannya banyak, takut karena sekolahnya bukan sekolah unggulan. 
abis.. bayangin deh..
sekolahnya, jauh dari mana-mana. jauh dari kota. sampe tatacara SNMPTN yang harusnya udah tersampaikan ke tiap sekolah itu, mereka ngga tau. kalo hal kaya gitu ngga tau gimana cara mereka menggapai cita-cita mereka?
ada SMA yang kelas 12nya cuma satu kelas, dan isinya…12 orang siswi. ada juga yang sama sekali ngga kepikiran buat kuliah, ada juga yang takut sama biayanya.
atau..anak SMK yang takut buat nerusin kuliah padahal pengen. padahal kan mereka jelas punya modal yang lebih banyak daripada yang anak SMA. di fakutas aku aja, banyak yang tadinya dari SMK Pertanian dan mereka jauh lebih jago dari kita-kita yang berasal dari SMA. kalo buktinya udah segini jelas kenapa masih takut.. SMK emang dirancang buat siap kerja, tapi apa salahnya kalau pengen menuntut ilmu di jenjang yang lebih tinggi?
mereka yang dari daerah terpencil bukan mustahil buat bisa jadi kebanggaan negara. dengan memperbaiki SDM pengajar di sekolah-sekolah tersebut, dengan memfasilitasi mereka. dengan lebih peduli kepada sekolah-sekolah tersebut. Dana BOS harusnya turun ke tiap sekolah di Indonesia kan? ko masih banyak banget keadaan yang…miris.
kita beruntung tau ga? sekolah di kota, alhamdulillah dapet sekolah unggulan, ngga ketinggalan info tentang SNMPTN, fasilitas baik.. apa yang kita bakal raih harus fantastis juga dong dengan semua keuntungan itu. 
aku aja dulu udah takut banget saingan sama banyak SMA di kota ini, gimana mereka.. gimana mereka yang bahkan bisa sekolah-pun udah bersyukur banget.
kita disini bukan buat ngajak mereka kuliah di UNPAD. kita disini ngajak mereka buat kuliah, buat sama-sama menggapai cita-cita yang dari kecil udah digantungin di langit. buat bikin bangga orang tua, keluarga.
ini loh aku.. aku yang buat ke sekolah aja harus jalan kaki berkilo-kilo meter sekarang bisa jadi dokter yang hebat..
ini loh aku.. aku yang bukan berasal dari keluarga kaya raya dan jauh dari berkecukupan sekarang bisa ciptain robot-robot yang hebat..
BERANI BERMIMPI, BERANI MELANGKAH!
AKU KAMU BISA!