2013/12/30

Malaikat Tak Bersayap (2)

Aku mulai terbiasa dengan hadirnya...Sella. Iya, kekasih Adit. Kini, jika aku bertemu dengannya pasti ada Sella disampingnya. Ternyata, dia juga bekerja di perusahaan tempatku bekerja. Ia tetap perhatian seperti biasa, tetap bertanya apa ada yang salah denganku apabila aku tampak gelisah, tetap selalu ada untukku. Aku senang, tapi...

Sella perempuan yang baik. Sabar, periang, cantik. Aku tahu, ia bahagia bersamanya. Aku tahu, ia nyaman bersamanya. Aku tahu... Aku hanya sebatas temannya.

Hari ini aku kembali terjebak berdua dengan Adit, karena urusan kantor. Sebenarnya aku tidak ditempatkan bersamanya, tapi entah bagaimana dia berada disampingku sekarang.. Biarlah, aku suka begini.
"Kamu jadian kan sama Dio?" Adit tiba-tiba bertanya.
"Hah? Engga lah." Aku menjawab sambil tertawa.
"Aku kira kalian jadian, soalnya deket gitu, makanya aku.."
Dan seketika aku memalingkan wajahku dari tatapannya. Aku terpaku mendengarnya. Dan tak tahu harus berkata apa.
"Dia..emang sering curhat soal cewenya. Kita emang udah kenal lama, jadi ya gitu."
Ada jeda panjang setelahnya, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari ruangan itu.

Aku tidak tahu perasaan apa yang aku rasakan. Senang, sesal, kesal, sedih. Semua bercampur jadi satu. Tapi dibalik semuanya, sedikit bagian dari hatiku merasakan kelegaan, sedikit.
"Ku menunggu, ku menunggu kau putus dengan kekasihmu. Tak akan ku ganggu kau dengan ke..." Aku menghentikan nyanyianku ketika kusadar ada Adit disitu. Aku juga tak menyadari kapan aku mulai menyanyikan lagu itu. Aku yakin, ia melihat wajahku yang memerah. Ia tak berkata apapun, hanya tersenyum kecil.

Aku, Adit dan Sella berhubungan sangat baik layaknya para insan yang sebelumnya belum pernah berhubungan. Dan entah bagaimana, Sella kini sering menghabiskan waktunya bersamaku, menceritakan Adit. Selalu ada rasa aneh di tubuhku saat Sella bercerita. Oh ya tentu saja. Tapi sebagai teman yang baik, aku mendengarkannya. Dan bukan bohong pula jika aku bahagia melihatnya. Aku bahagia, melihat Adit memiliki seseorang seperti Sella. Pertengkaran bukan tak pernah ada, tapi aku melihat keindahan dan keteguhan dalam hubungan mereka.
Aku menyerah..
Setelah pada suatu hari Adit memintaku menemaninya pergi, akhirnya..setelah rasa pada Adit memuncak lagi..aku memutuskan untuk yakin aku bisa tanpa Adit.

Hari-hari terus berlalu, dengan bayangan Adit yang selalu melayang di udara. Melayang dengan sayap malaikatnya. Sendiri. Tidak ada lagi Sella disampingnya. Adit kembali menjadi malaikatku seutuhnya. Namun aku takbisa menjadi bahagia, seseorang telah memilikiku, kini..

Kepada Kamu

Kepada Kamu

Kepada kamu yang mengenalkan aku cara memaafkan diri sendiri
Terimakasih untuk membantu aku tidak menyesali segala kesalahan yang aku lakukan.

Kepada kamu yang mengusap punggungku ketika aku tersedu
Terimakasih telah membantu menguatkan aku yang lemah saat itu.

Kepada kamu yang mengajarkanku untuk tidak minum sambil berdiri.
'Bahaya tau!' Katamu..
Terimakasih telah menghindarkanku dari penyakit yang akan muncul jika minum sambil berdiri.

Kepada kamu yang kepalanya benjol dimalam hari yang hujan.
Terimakasih telah datang dan bersama memecahkan rumus-rumus di buku itu.

Kepada kamu yang mengajakku makan siang.
Terimakasih untuk mengingatkanku untuk tidak meninggalkan jadwal makan.

Kepada kamu yang mengatakan dirimu backpaker.
Terimakasih telah berniat untuk pergi dan mencari dimana rumahku.

Kepada kamu yang tiba-tiba mengirimkan pesan 'hati-hati' saat aku berkendara sendiri.
Terimakasih untuk rasa pedulimu padaku.

Kepada kamu yang mau mengajarkan aku suatu materi saat akan diujiankan.
Terimakasih karenamu aku dapat mengerjakan soal dengan lancar.

Kepada kamu yang selalu berhasil membuatku tersenyum.
Terimakasih telah membuat perasaan ini begitu tenang, begitu nyaman.

Kepada kamu yang mau mencicipi hasil masakanku sambil berkata 'aku mau tapi kamu dulu, biar 'apet' hehe'.
Terimakasih sudah mau mencicipi puding yang sudah tak jelas bentuk dan warna fla nya.

Kepada kamu yang selalu membaca tulisan-tulisanku.
Terimakasih, sejak kamu melakukan itu, aku merasa ada seseorang yang menghargai tulisanku. Kamu membaca, kemudian berdiskusi denganku soal itu.

Kepada kamu..
Yang pernah berkata 'kamu ngga 'ngeh'? jadi selama ini aku selalu ada buat kamu itu apa?'
Terimakasih untu kamu yang selalu ada saat aku tiba-tiba mengirim pesan.. berkeluh kesah, menangis, bahkan menceritakan bahagiaku.
Terimakasih untuk tak lelah karenanya dan masih terus memberi semangat.

Kepada kamu yang memberi sejuta kenangan yang tak bisa aku tuliskan satu-persatu.
Maaf kalau aku berbuat sesuatu yang membuatmu kecewa.
Maaf aku tak bisa menjadi 'your-best-sweet-friend' yang baik.
Maaf..

NB: aku kangen. kangen yang sama sekali ngga pernah aku sampein. kangen yang cuma ada dari satu sisi. kau ingat aku seperti aku mengingatmu ini saja, belum tentu.

2013/12/27

Terimakasih telah menunggu..

"Kita udah berapa lama sih ga ketemu? Setahun? Dua tahun?" Aku mencoba memecah kesunyian.
Ia tertawa sinis. "Ya engga lah, baru juga beberapa bulan."

"Ya tapi, kamu kaya ilang. Kaya ada di negeri antah berantah. Ngga ada kabar. Gatau, masih inget aku apa engga. Ya abis, dihubungi juga ngga bisa."

Ia terdiam lagi. Aku tahu ia tak bisa menjawab apa yang sebenarnya ada didalam hatinya. Akupun tak bisa menerka apa yang sebenarnya terjadi diantara kita.

"Kamu ngga pernah mau tau, kalo aku butuh kamu. Mungkin emang dari dulu rasa ini cuma searah ya." Aku menambahkan.

Lelaki dihadapanku kini menatapku, dalam. Bukan tak mau aku balik menatapnya, aku hanya tak sanggup. Matanya yang begitu tajam saat memandang, raut mukanya yang begitu serius. Dan kini, kumisnya yang bertambah tebal. Ah, rasa berdesir saat melihat pemandangan ini selalu tak bisa aku hindari dari dulu. Aku menunduk, mengaduk es teh manisku yang gulanya sudah larut.

"Kamu selalu ngga 'ngeh' ya. Dari dulu pas awal cuma rasa suka, sampe akhirnya begini. Kalau itu cuma satu arah, aku ngga akan bela-belain hampir setiap hari keluar malem, dingin, hujan. Cuma buat ketemu sama kamu."

Aku bukannya tidak menyadari semua, aku juga masih ingat hari-hari bahagia itu. Tertawa bersama sampai larut, bertukar pikiran sampai aku akhirnya dijemput. Suatu rasa yang sangat luar biasa. Perasaan bahagia itu masih terasa didalam diri ini.

"Aku tahu tapi... Kamu tak pernah benar-benar menunjukannya. Kau tahu? Sikapmu yang tiba-tiba berubah menjadi dingin seperti es! Dan kamu yang sering tiba-tiba menghilang, setelah kamu yang menjanjikan pertemuan!"

Aku hampir menangis. Rasa kesalku selama ini akhirnya meluap. Dengan suara sekecil mungkin, aku berusaha membuat ia mengerti apa yang aku rasakan.

"Oke. Aku minta maaf. Bukan inginku mengingkari janji tersebut..."

Ia mulai memegang tanganku. Jantungku berdetak semakin kencang karenanya.

"Kamu tahu kan, betapa sulitnya tersenyum untukmu dibalik punggung kekasihku saat itu? Dan aku yakin kamu sadar, dibalik tanganku yang merangkulnya, banyak dari hati ini menatap padamu. Aku mengkhawatirkanmu. Aku ingin tahu kabarmu."

Kini air mataku tak bisa dibendung lagi, karenanya genggaman tangannya padaku semakin kuat.

"Bukan inginku juga menghilang. Aku minta maaf. Kalau kau ingin tahu, aku sudah lama putus hubungan dengan dia. Jauh sebelum aku yang katamu menghilang."

Tangan kanannya mulai menyapu air mata ini. Tangannya yang kuat ini, terasa tak pernah meninggalkan ingatanku.

"Terimakasih jika kamu masih disini menungguku. Terimakasih telah sabar menanti."

Aku mulai bisa menguasai diri. Menghela nafas panjang yang melegakan.
"Susah banget ya buat kita ketemu. Ada aja halangannya. Kamu datang, aku diluar kota. Selalu begitu." Aku menggeleng-gelengkan kepala.

Senyumnya kembali merekah. Senyum yang paling kusukai. Senyum yang sudah lama kurindukan. Senyuman yang mampu membuat aku ikut tersenyum.

"Memang begitu kan? Terkadang kenyataan ngga selalu sesuai dengan keinginan. Terkadang kita perlu nunggu lebih lama buat ketemu sama orang yang kita sayang."
Dan aku yakin, genggaman tangan ini takkan terlepas lagi, untuk selamanya.

2013/07/12

Merelakan, memang menyakitkan.

Tiara memandang sesosok pria di hadapannya dengan tajam.

Ucapan Dimas terus bergaung di telinganya. "Cinta tak harus memiliki. Cinta harus merelakan, seperti katamu. Dan aku sedang berusaha merelakanmu sekarang. Ternyata, merelakan itu lebih sakit daripada yang dibayangkan, ya?"

Tiara ingin sekali berteriak, "Kalau nyatanya sekarang kita sama-sama merasa pedih untuk merelakan, mengapa kita harus merelakan? Tak bisa-kah kita bersama-sama saja? Biar pedih itu tak pernah ada."

Tapi Tiara tetap terdiam tanpa mengucapkan apapun. Otak dan hatinya sedang berlomba didalam dirinya, otaknya mengatakan untuk tetap diam, sedangkan hatinya mengatakan agar Tiara berlari dan memeluk Dimas.

"Bagiku cinta harus memiliki. Kalau kamu tidak berjuang atau mempertahankan, malah merelakannya begitu saja, yakin itu cinta?" Tiara membuka suara "Aku tau, merelakan itu sakit. Wajar, karena setiap perpisahan satu paket dengan kesedihan. Tapi, yasudahlah aku tidak takut untuk merelakanmu. Untuk apa aku takut merelakan seseorang yang sudah lebih dulu dengan mudahnya melepaskan?"

Tiara berbalik, meninggalkan Dimas yang tampak terkejut. Tiara yakin, jauh disana sudah ada seseorang yang bisa lebih baik, hadir untuk hidupnya. Seseorang yang tak akan dengan mudahnya melepaskan. Seseorang yang akan berjuang untuknya. Merelakan, memang menyakitkan. Tapi merelakan untuk kebahagiaanmu? Itu menyenangkan pada akhirnya.

Mungkin..

Malam itu, aku melemparkan handphone-ku dengan asal-asalan ke kasur. Sudah tak bisa dihitung oleh jemariku, berapa kali dia menolak ajakanku untuk keluar. Sudah berapa lama kami menjalin hubungan ini? Lebih dari tujuh bulan kami berpacaran, dan dia selalu menolak jika aku mengajaknya keluar. Apa sih yang salah dengan diriku? Apa yang membuatnya lebih memilih PlayStation nya itu ketimbang pacarnya sendiri? Ah sudahlah, malam minggu kali ini akan kelabu seperti malam minggu sebelumnya.

Itu belum seberapa. Aku yang harus terus sabar karena banyak perempuan-perempuan disekelilingnya. Ada juga beberapa perempuan yang kucurigai. Hingga akhirnya pada suatu pagi aku menemukan banyak sekali bukti yang menunjukan kalau dia memang benar memiliki hubungan khusus dengan perempuan lain. 
Aku mendatangi perempuan itu, menanyakan beberapa hal dan akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengannya.

Dua minggu setelahnya aku mendengar dia sudah memiliki kekasih yang baru. Playboy. Aku berusaha mencari tahu siapa perempuan malang yang terjebak oleh rayuan-rayuan gombalnya. Aku menduga perempuan yang yang kudatangi yang menjadi kekasihnya..ternyata? Bukan. Benar-benar playboy.

Dengan berbekal rasa penasaran, aku memberanikan diri untuk mengajak perempuan itu bertemu. Dan penilaian pertamaku adalah..perempuan itu terlihat, dewasa. Memang berbeda jauh denganku. Dengan jilbab yang ia kenakan, itu memang mempermanis penampilannya. Aku memperkenalkan diriku dan ia tidak tampak terkejut. Aku menceritakan beberapa hal mengenai kekasihnya itu, tentu dengan keburukan-keburukannya yang kuketahui. Anehnya, perempuan itu hanya terseyum dan kemudian berkata "yaa semoga saja aku dapat mengubah dia menjadi lebih baik." Aku tak habis pikir! Aku kira perempuan itu akan memutuskan untuk mengakhiri hubungannya.

Dan sekarang, sudah lebih dari dua tahun mereka bersama. Tanpa sedikitpun kudengar mantan kekasihku itu bermain mata dengan perempuan lain. Dan sering kudengar mantan kekasihku itu sering memberi kejutan-kejutan kecil untuk kekasihnya. Atau pergi keluar di akhir minggu. Sesuatu yang tak pernah ia berikan padaku. Aku tidak merasa cemburu, hanya saja aku merasa sedikit sesak untuk mengetahuinya. Mungkin, dia bukan playboy seperti apa yang kupikirkan. Mungkin, dia memang tak pernah menyayangiku seperti dia menyayangi kekasihnya yang sekarang. Mungkin, dulu aku yang memaksakan untuk bersama. Mungkin aku dulu seharusnya lebih sadar diri. Mungkin..

2013/05/01

It Will Be a Long Story (PART 1)


Juli, 2007

Aku terdiam cukup lama didepan gerbang sekolah ini. Mulai hari ini aku resmi memakai seragam putih-biru. Iya! Aku sudah menjadi murid SMP sekarang.
“Wish me luck!” ucapku dalam hati dan aku melangkah melewati gerbang itu. Aku menyusuri lorong – lorong dan akhirnya menemukan kelasku. Kelas yang cukup luas beralaskan karpet biru dengan dinding yang ber-cat oranye.
Aku memilih tempat duduk barisan ke dua, jajaran ke tiga. Dibelakangku sudah ada anak perempuan yang terlihat sangat sibuk dengan jilbabnya. Aku duduk sampai ada bel tanda masuk dan kami bergegas pergi ke lapangan, upacara pertamaku di SMP.
“Ah, ngga ada yang ganteng.” Aku melirik pada barisan laki – laki disekitarku.

*

Tampaknya teman – teman baru ku ini menyenangkan. Dalam waktu seminggu aku sudah berkenalan dengan beberapa orang dan sudah dekat dengan beberapa orang juga. Ian salah satunya. Ian yang mengesalkan. Aku mengenalnya memang seperti itu. Baru seminggu kita berkenalan dan ia sudah membuatku kesal. Ian selalu menggangguku sampai aku harus mengejarnya sampai keluar kelas. Bermain – main dengan semprotan pengharum ruangan atau dengan cairan pembersih kaca. Begitu setiap hari.

Aku biasa datang pagi – pagi kesekolah, karena Ibu yang menuntut pukul 06.30 harus sudah berangkat dari rumah. Hanya ada beberapa anak yang sudah hadir. Biasanya kelasku masih kosong. Beberapa menit setelah aku datang, selalu ada anak laki – laki kelas sebelah yang datang. Ia membuka sepatu dan masuk ke kelasnya. Aku tak tahu ia siapa. Aku juga tak berani bertanya dan mengajaknya mengobrol walaupun aku begitu bosannya menunggu teman – teman sekelasku datang. Setelah itu, biasanya Hanni datang. Kemudian Ian, kemudian.. Aku tak tahu lagi. Biasanya setelah Ian datang aku sibuk menghindar dari tangan jahilnya.

*

“Aku Riani.” Perempuan berkulit putih itu mengenalkan dirinya.
“Deane.” Aku menjabat tangannya.
Kami masuk satu cabang pengembangan diri yang sama, Broadcasting. Kami sering siaran radio bersama, hingga akhirnya sering saling mengunjungi rumah satu sama lain. Dan karenanya, aku menjadi dekat dengan Riani. Lebih dari sekedar dekat, sebenarnya.

*

“Deane!”
“Hai Aji.” Aku terseyum
“Jajanin. Gope aja.” Candanya.
“Hahaha ayo aja sih.” Aku mengiyakan candaannya.
“Gope Deane.” Kata laki – laki itu, nyengir. Laki – laki yang setiap pagi aku lihat datang dan melepas sepatunya kemudian masuk kedalam kelas.
“Ya ayo kalo kamu mau ikut juga.” Aku tertawa dan mengangguk kemudian melangkah menuju koperasi siswa.
“Deane unta terimakasih ya.” Aji berkata sambil sibuk memakan jajanannya.
“Ih, gaperlu bilang kaya gitu deh.”
“Emang kenapa disebut unta?” tanya laki – laki itu.
“Lehernya panjang, liat aja.” Dan setelah Aji selesai menjawab pertanyaan laki – laki itu aku sudah memukuli setiap bagian tubuhnya yang bisa aku jangkau.
“Deane Dust Camel. Hahaha.” Laki – laki itu tertawa dan anehnya aku tidak terganggu karena itu.

Dan lama kelamaan akhirnya aku tahu nama laki – laki itu. Aku mendengar teman – temannya meneriakan namanya. Aku juga semakin sering melihatnya, ia sering datang ke kelasku untuk saling pinjam buku pelajaran. Namanya, Aldo.

2013/04/26

Kereta Api

Semesta memang hebat. Kita yang ternyata sama-sama tidak suka keramaian akhirnya bertemu.
Namun entah kapan pertemuan itu terjadi. Aku tak peduli.
Dan entah bagaimana, aku kini semakin sering menghabiskan waktu denganmu. Merangkai berbagai 'moment'. Menjadi sebuah kisah yang indah.

Aku mulai terbiasa dengan adanya hadirmu. Terbiasa dengan adanya kamu yang membuatku tertawa. Terbiasa dengan adanya kamu yang membuatku lupa aku mungkin dulu pernah se-bahagia ini.

"Lihat! Kereta api!" aku berseru.
"Iya..iya.." kamu, yang menanggapi dengan santai nya.
"Tuh keren kan? Apalagi saat ada asap mengepul dari cerobongnya."
Dan kamu tidak menanggapi apapun. Kamu hanya terdiam dan fokus pada jalanan yang sore itu cukup ramai. 
"Aku tidak diperhatikan, yasudahlah." aku menggerutu dalam hati.

Aku menyukaimu. 
Aku menyukai kamu yang tahu akan apa yang aku sukai. Bukan karena aku mengatakannya, tapi karena kamu memperhatikan.
Aku menyukai kamu yang tahu perkataan apa yang harus dilontarkan agar senyumku tak hilang.

"Ayo ikut. Kau tidak ada perlu apapun kan?"
"Kemana?" 
"Berjalan-jalan saja. Main."
"Bohong. Aku tahu kau tidak suka pergi keluar untuk main."
Dan kau hanya terseyum menanggapi ke-tidak-percaya-an-ku dan kemudian menarik lembut tanganku.
"Ikut saja. Ayo."

Dan kamu membawaku ke sebuah stasiun kereta api di kota ini. Dan tiba-tiba aku merasa aku kembali pada masa lalu. Iya, dulu aku sering mengunjungi stasiun kereta api bersama orang tuaku. Bukan untuk bepergian tapi hanya untuk melihat gerbong-gerbong kereta api. Dan sesudahnya membeli jagung manis yang diberi susu dan keju. Selalu seperti itu. Dan setelah sekian lama, akhirnya aku bisa melihat gerbong-gerbong itu lagi.

"Kamu mau pergi?" tanyaku, pelan.
"Tidak...Aku hanya ingin mengajakmu kesini."
"Mengapa?"
"Karena kamu terlihat begitu suka pada kereta api."
"Begitu ya?"
"Iya. Apalagi saat pertama kali aku melihatmu menatap kereta api itu. Mobil kita berhenti tepat di depan palang kereta api, dan kamu memajukan tubuhmu untuk melihat kereta api itu. Padahal kamu duduk di jok depan."
"Aku tak tahu kau ternyata menyadari hal itu."
Lagi-lagi aku merasa kembali pada masa lalu. Aku yang akan pindah ke jok depan, dipangku oleh ibu atau ayahku jika berhenti tepat didepan palang kereta api.

"Kamu mau ngga jadi pacar aku?" tanyamu tiba-tiba. Aku kembali dari lamunanku dan mendapatimu berdiri menghadapku dengan tangan yang menggenggam setangkai mawar berwarna merah.
"Ini janji ku dulu padamu. Aku membawakan bunga asli untukmu. Bukan bunga plastik." lanjutmu. Aku masih terdiam.
"Aku ingin kita nanti seperti kereta api itu. Panjang. Kita akan memiliki kisah yang panjang dan yang membuatmu senang. Seperti kamu senang pada kereta api ini."
"Tapi kereta api ini mempunyai ujung."
"Lalu apa di dunia ini yang tak berujung? Aku ingin selalu bersamamu, tapi aku juga harus menyadari tak akan ada yang abadi."
"..."
"Dan kita harus pintar memanfaatkan waktu yang disediakan Tuhan untuk kita bersama. Sampai, suatu saat kita dipisah oleh ajal? Mungkin?"
"Iya...Tak ada yang abadi. Seperti kereta api yang panjang ini, tapi mempunyai sebuah ujung. Kita harus sadar dan siap akan adanya perpisahan suatu saat nanti." ucapku sambil memandang satu kereta yang mulai meninggalkan stasiun.
"Dan kita harus membuat ujung itu indah."
"Dan kita hanya boleh berharap, atau berkhayal sekali-kali. Tapi tidak mendahului takdir."
"Ayo. Kita juga harus bisa seperti kereta api itu. Keluar dari stasiun untuk melihat pemandangan indah. Dan pada akhirnya kembali lagi kesini."
Kita terdiam cukup lama setelah itu hingga aku berkata "Lalu, bagaimana bisa aku mengatakan tidak untuk pertanyaanmu yang tadi?" dan dunia berhenti saat kau menggenggam tanganku.

2013/04/04

Rumah

"Aku tak ingin menjadi sebuah rumah." Yuri berkata, matanya lurus menatap seorang pria yang tengah bermain futsal.
"Loh? Bukankah asik menjadi rumah? Rumah itu kan tempat orang kembali."
"Karena orang yang pulang kerumah biasanya orang yang sudah lelah. Aku ingin, segalanya ya bersamaku, baik itu susah atau senang. Bukan hanya ketika lelah dan hanya ingin beristirahat."
"Lalu, biasanya rumah itu kan tempat yang paling nyaman?"
"Biasanya... Kan tidak selalu."
"Tapi kan tetap ada." Marsha bersikukuh pada pendapatnya.
"Ya, ini kan hanya pendapatku."
"Kalau aku, aku ingin menjadi sebuah rumah. Karena dia yang menempati pasti akan selalu kembali kerumah, karena rasa aman dan nyaman mungkin."
"Setelah menghabiskan waktu diluar sana bersama orang lain? Setelah bersenang-senang dengan yang bukan diri kita? Huh."
"Tapi kan memang tiap orang butuh berinteraksi dengan orang lain."
"Ya, kalau begitu, jangan sampai dia menemukan rumah baru yang lebih nyaman. Banyak loh yang pindah rumah."
Marsha terdiam.

"Aku pikir ada yang salah dengan aku dan dia." Mata Yuri masih mengarah pada pria itu.
"Apa yang salah? Sudah usai kan semuanya?"
"Aku belum mengatakan kita berakhir.."
"Dan dia? Sudah memiliki yang lain?" Marsha terkejut. "Aku kira.."
"Entahlah..."
"Aku kira menemukan orang baru dikehidupan itu seharusnya membutuhkan waktu yang cukup lama."
"Iya. Logikanya tidak dalam waktu yang sebentar."
"Tahu kenapa?"
"Karena kita harus sudah siap?"
"Tepat."
Terjadi hening yang cukup panjang saat pria itu beristirahat, disamping kekasih barunya itu.

"Simple nya begini." Marsha memulai lagi. "Seharusnya orang yang baru berpisah memiliki waktu untuk benar - benar sendiri. Merapikan dan menata lagi sesuatu yang, hm sebut saja rumah."
"Dan harus diri sendiri yang merapikannya, orang baru yang datang bukan untuk ikut merapikan." Yuri berpendapat.
"Iya, seharusnya kita hanya boleh membukakan pintu, setelah rumah itu benar - benar rapi. Saat ada yang datang, dia akan mengatakan kalau 'wah ini tempat yang benar-benar indah dan nyaman' begitu. Dia yang baru datang tidak akan tahu jika rumahmu pernah sangat berantakan."
"Jika dia ingin ikut merapikan?"
"Di pikiranku, tidak ada yang bisa ikut merapikan. Karena, yang tahu dan merasakan hanya kita. Ini, cuma bakal diri sendiri yang bisa ngerti." Marsha menunjuk kearah dirinya sendiri. "Yang ada, mereka hanya ikut memberi saran, bagaimana agar kita mampu merapikannya dengan baik."

"Dia masih menghubungiku." Mata Yuri sudah tidak menatap pria itu, kini ia sibuk memainkan tali sepatunya.
"Yaaaa, andaikan dulu ia sedikit bersabar. Bersabar saat kau mengatakan kau jenuh, karena jika ia bersabar mungkin kalian bisa tetap bersama? Kejenuhan itu kan bisa hilang."
"Tapi yasudahlah, ini kan sudah terjadi."
"Satu lagi. Andaikan ia lebih bersabar, untuk menenangkan segalanya. Bersabar untuk tidak mencari kekasih baru dengan cepat. Aku hanya khawatir, dia belum benar - benar melepasmu sebenarnya."
"Makanya, aku tidak ingin menjadi sebuah rumah."
"Tapi, memang pada hakikatnya harus seperti ini bukan?"

2013/04/01

best-hm-friend?

Gisela menyentuh kaca jendela mobil yang dipenuhi rintik hujan. Ia mulai membuka kaca jendela dan mengulurkan tangannya, menyambut tetes-tetes air hujan.
"Ya ampun Gisel, basah dong." Gisel menarik tangannya dan menutup jendela.
"Ini sih emang kamu nya aja yang gasuka hujan. Ini ngga deras lagian hujannya.." ucap Gisel, kini tangannya yang lentik mengikuti tetesan air hujan pada jendela. "Kenapa sih?"
"Hujan itu bikin basah, dingin."
"Cuma karena itu?"
"Iya."
"Hujan itu asik tau. Kalo beruntung, ada sinar matahari udahnya kita bisa liat pelangi."
"Ga pengen liat pelangi juga tuh."
Gisela melirik Bagas dengan ujung matanya.
"Ah hidup kamu ngga rame!"
Bagas terseyum kecil "Terus kenapa masih mau hidup sama aku?"
"Aku kan sahabat yang baik, Gas. Kasian kamu kalo aku pergi, aku kan salah satu yang bikin hidup kamu rame."
Kemudian tawa memenuhi isi mobil itu.

"Bagas, pake motor ya, please."
"Engga."
"Kenapa? Sekali ini aja, please.."
"Engga."
"Please.."
Terdengar helaan nafas Bagas dari ujung teleponnya.
"Iya. Jangan lupa, pake jaket ya. 20 menit lagi aku sampe situ."
"Terimakasih ya." Gisela tersenyum.

Gisela merentangkan tangan dan memejamkan mata. Udara malam yang membelai wajahnya terlihat membuatnya damai.
"Gisela, pegangan sini! Jangan kaya gitu!" Bagas menarik tangan Gisela "Masukin aja tangan kamu ke jaket aku, biar ngga dingin juga."
"Panik amat mas." canda Gisela diiringi tawa lepasnya yang terbawa angin.
"Lah kalo ada apa-apa ya aku yang disalahin."
"Oh gitu ya.. Ah Bagas, ini kereeen sumpah!" kini tangan Gisela terangkat keatas.
"Gisela! Kalo ngga nurut aku turunin disini. Sekarang."
"Sensi amat mas, lagi pms?" Gisela tertawa lagi, tapi kali tangannya sudah melingkar di tubuh Bagas. 
"Bagas! Ini keren tau!"
"Apa?" 
Tangan Gisela menunjuk lampu-lampu perkotaan, yg tampak seperti titik-titik cahaya saja.
"Nama kerennya City Light." ujar Bagas
"Kaya bintang ya, tapi dibawah ngga dilangit."
"Beda tau."
"Emang aku bilang sama?"
"Udah ah. Males debat. Udah nyampe lagian."

"Silakan, nona. Mau pesan apa?" Bagas bertingkah layaknya pelayan disana.
"Yang enaknya disini apaan, Gas?"
"Yang enak? Semua nya enak ko, apalagi kalo gratis ya, ngga-AW !"
Gisela mencubit perut Bagas. "Ga lucu."
"Cokelat panas aja yu. Ga pengen makan."
"Sama cheese cake!"
"Gisel, harus ya? Selalu mesen cheese cake?"
"Udah, pesenin. Atau aku cubit lagi nih."
"Iya."
"Cheese cake itu wajib ada tau."
"Harus selalu cheese cake? Jadi aku yang selalu ada buat kamu, ngga harus ada ya?"
"Bagaaaaaaas!" Gisela mulai mencubit setiap bagian tubuh Bagas yang bisa ia capai. Sementara Bagas sendiri tertawa dan membiarkan Gisela melakukannya.

"Ngga ada bintang ya." Gisela menatap langit kelam.
"Tuh, banyak." Bagas menunjuk City Light yang tampak sangat menawan dari tempatnya duduk. "Kan kalo bintangnya dibawah, aku bisa bawain satu, atau dua atau sebanyak apapun yang kamu mau."
"Kalo aku mau nya bintang yang diatas?"
"Aku gabisa kasih yang kamu mau berarti."
"Ehiya, makasih loh ya. Ini pertama kalinya aku kayak gini. Keluar malem, ngerasain enaknya udara malem, adem."
"Sama-sama Gisela." Bagas tersenyum.
"Perfect ya malem ini? Ada cokelat panas, cheese cake, city light sama.. Kamu. Yang mau bawain aku bintang."
"Hm?"
"Bakal tetep kaya gini ngga sih?"
"Apanya?"
"Kita, kalo masing-masing udah bener-bener punya seseorang yang..." jawab Gisela, pelan.
"Dari dulu juga kita selalu saling ada buat satu sama lain kan? Kamu curhat kalo ada apa-apa, dan aku juga sama kaya gitu."
"Aku ngga mau engga loh..."
"Aku juga. Aku seneng sama kamu gini. Swear."
"Aku, nyaman.."
"Yaudah, kita bakal tetep gini." ucap Bagas dengan tegas.
Gisela terseyum, manis.
"Oke. Deal ya, my best-hm-sweet-friend?" 
"Hm? Yes, my best-my great-friend."
Bagas dan Gisela tertawa bersama lagi, namun pipi Gisela yang merona memang tak bisa disembunyikan oleh apapun.

2013/03/21

Benar kan aku ini kekasihmu?

Benar-benar ya, kamu itu mood-booster sekaligus mood-breaker ku! Baru saja beberapa menit kita tertawa berdua, iya berdua! Sekarang kamu sudah memanggil dia lagi. Hebat. Dalam hati aku melontarkan perasaan kesalku. Aku memalingkan wajah saat Adrian memanggil nama itu.
"Kezia! Sini!"
Perempuan itu melambaikan tangannya dan kemudian mendatangi meja kami.
"Sini, ikut kita makan." Adrian berkata pada Kezia. 
"Ah engga deh. Masih banyak meja kosong ko, lagian kalo disini aku ganggu dong." balas Kezia.
Aku bersyukur, Kezia masih mau mengerti aku yang merasa terganggu jika dia ikut duduk disini.
"Ngga ganggu ko." jawab Adrian cepat "Udaaah, sekalian cerita-cerita."
Dan aku pasrah, melihat Adrian yang begitu memaksa sampai Kezia akhirnya duduk bersama aku dan Adrian.
"Halo Mia. Ngga apa-apa nih aku disini?" tanya Kezia
Jelas apa-apa! Aku mengomel dalam hati. "Ngga apa-apa." Aku mengeluarkan senyum paling manis yang bisa aku keluarkan sekarang. Setelahnya aku lebih banyak diam, menanggapi obrolan mereka seperlunya. Ah! Selalu seperti ini.

"Adrian? Kamu ada apa sih sama Kezia?" tanyaku pada suatu siang, sepulang sekolah.
"Aku? Dia sahabat aku Mia."
"Tapi kamu kelia..."
"Gausah curiga gitu deh."
"Tapi..." aku berusaha menyuarakan isi hatiku, lagi-lagi Adrian memotong perkataanku.
"Kalo kamu takut aku ada apa-apa sama dia, kamu cuma perlu percaya, kalo aku sayang sama kamu." Adrian terseyum dan mengusap pipiku. Aku tak tahan jika harus bersikap dingin kepadanya, aku membalas senyumnya.
"Nah! Gitu dong." Kini Adrian ganti mengusap kepalaku.
Bukan begitu, sayangku. Aku terkadang hanya ingin bersamamu, berdua. Aku memejamkan mataku menikmati Adrian yang masih mengusap kepalaku.

"Kezia! Bisa tolong aku?" tanya Adrian
"Buat?"
"Aku harus bikin essay, nah aku bingung mau masukin apa aja."
"Jadi?"
"Jadi bantuin aku bikinnya. Aku tau kamu jago bikin essay." 
Aku melihat Kezia tersenyum, manis memang.
"Ngga sama Mia aja nih?" Kezia nyengir kepadaku.
"Dia sibuk Zi." balas Adrian.
Aku? Sibuk? Sibuk apa? Lagipula, se-sibuk apapun aku pasti aku mau bantu ko! Aku ini kekasihmu kan? Kenapa kamu kalo ada apa-apa larinya ke Kezia, Adrian?

Aku sangat bersemangat hari ini. Adrian mengajakku keluar, melepas penat katanya. Aku sudah sangat siap ketika ia mengetuk pintu rumahku. Aku menggandeng lengan Adrian dan berjalan keluar rumah. 
Moodku tiba-tiba menguap entah kemana saat Adrian tiba-tiba berkata, "Eh! Menurut kamu, Kezia sama gebetannya gimana ya sekarang? Ada kemajuan apa engga?"
"Gatau hehe"
"Kalo mereka sampe jadian kayanya lucu ya, bakalan aneh ga sih?"
"Hm?" aku malas menanggapi obrolan ini. Adrian tampaknya menyadari perubahan sikapku ini.
"Kamu kenapa? Sakit?"
Sakit? Iya! Sakit hati!
"Hey, Mia?" panggil Adrian
"Engga ko." 
"Bener engga sakit?" tanya Adrian lagi.
"Bener." aku tersenyum pahit.
"Jangan bohong loh ya sayang. Eh Mia! Kezia cerita loh, kemarin katanya dia.." 
Adrian menghentikan ucapannya saat aku memandangnya, dengan kesal.
"Kezia terus ya? Kenapa sih?"
"Ngga kenapa-napa Mia."
"Ada apasih?" 
"Mia, kamu ngga percaya sama aku?"
"Aku percaya! Aku percaya kamu ngga nyimpe perasaan lebih sama dia! Aku cuma.." aku menghela napas panjang. "Aku cuma pengen ada waktu buat kita berdua."
"Kita kan sering berdua gitu.." Adrian memotong ucapanku. Aku berusaha untuk tidak berteriak kepadanya. Lagi-lagi aku menghela napas yang panjang, untuk menenangkan diriku sendiri.
"Adrian, maksud aku ya cuma berdua. Aku-kamu. Aku ngga mau denger ada nama lain, Kezia contohnya. Aku ngga minta banyak, kan? Aku cuma pengen ngerasain bener-bener jadi pacar kamu. Atau? Bener kan? Aku pacar kamu?"
Lama Adrian terdiam. Tampak kebingungan untuk menanggapi permintaanku.
"Iya. Aku minta maaf ya. Kamu itu bener-bener pacar aku, sayang. Jangan pernah bilang kaya gitu lagi ya. Oke. Cuma kita berdua."
Adrian meraih tanganku dan menggenggamnya. Kutaruh percayaku sepenuhnya.

Aku sedang menanti Adrian yang masih asyik bermain dengan sketsanya. Sesekali ia menatapku dan tersenyum. Aku sedang tekun meneliti setiap detail tubuh Adrian saat tangannya melambai dan mulutnya berseru "Kezia! Sini!"
Kezia? Again? Jadi? Aku ini benar-benar kekasihmu kan?

2013/03/20

Gerbang Fakultas Pertanian - Agroteknologi UNPAD menanti untuk kulewati.

Jika sudah mendengar ayah dan ibumu membicarakan soal kuliahmu nanti, apakah yang kau rasakan?
Bagaimana hati dan otakmu meresponnya?
Aku, sedih..
Bagaimana hidupku nanti jika jauh dari mereka?
Siapa yang akan menyelimutiku saat aku lupa memakai selimut saat tidur?
Siapa yang akan berteriak membangunkan aku?
Siapa yang akan menyuruhku untuk meminum obat saat aku sakit?

Pikiranku berlari kesana kemari..
Memoriku seakan dipaksa untuk memutar kembali kenangan-kenanganku.

Saat pertama kali aku diajarkan bagaimana cara bersepeda oleh ayahku.
Atau saat aku diperbolehkan menari dibawah hujan, untuk yang pertama kalinya.
Saat pertama kali ibuku memasangkan mukena padaku, dan menyuruhku mengikuti gerakan shalatnya.
Aku juga tak akan melupakan bagaimana tiap malam aku diantar ke tempat tidur lalu dibacakan cerita, sampai aku terlelap.

Pikiranku melaju lagi ke masa yang lain, kulihat diriku dalam keadaan yang berbeda.
Aku bukan lagi balita yang di nina bobo kan sebelum tidur.
Aku sudah mengenal pertemanan.
Aku sudah berani meminta izin untuk bermain diluar bersama teman-temanku. 
Dan setelah lelah bermain, aku pulang dan menjatuhkan diri dipelukan ibuku.

Kulihat lagi versi diriku yang sudah semakin berbeda.
Aku sudah mulai menyukai lawan jenisku.
Aku menjadi lebih sering mengurung diri di istanaku sendiri.
Bercengkrama dengan telepon genggamku. 
Aku sudah tak sesering dulu, berlari ke pelukan ibuku setelah hari berakhir.
Namun, tetap saja. Aku masih selalu berlari dan sembunyi di bawah dekapannya saat aku merasakan kepedihan.

Aku terkesiap dan menyadari sesuatu.
Aku tak terbiasa hidup tanpa mereka.
Ditinggal beberapa jam saja, telpon genggam mereka pasti sudah berdering, tanda masuknya panggilan dariku.
Aku manja? Iya.
Bagaimana tidak?
Ayah yang tak pernah memarahiku.
Ibu yang selalu mengerti jika melihat mataku yang bengkak di pagi hari.
Mereka yang tau apa yang aku inginkan.
Aku tak mau jauh dari mereka.

"Bidadari ibu sekarang udah gede ya."

Terkadang aku bertanya-tanya, mengapa aku tumbuh secepat ini?

Setelah makan malam, sambil membereskan piring-piring aku sering melamun.
"Kapan lagi aku bisa makan bersama dalam satu meja seperti ini?"

Aku akan sangat merindukan setiap detik yang biasanya kulewati bersama mereka.
Memasak, menonton tv, bersantai, bercanda, atau membetulkan bagian rumah yang rusak.
Aku juga akan merindukan aku yang berteriak 'Paaa ada serangga di kamar!'

Aku harus terus melangkah.
Mengukuhkan tekad dan keyakinan.
Gerbang Fakultas Pertanian - Agroteknologi UNPAD menanti untuk kulewati.
Aku percaya, aku bisa membuat bangga mereka.

Bu, ibu benar. Bidadarimu sudah semakin besar sekarang. Aku meminta doa restumu, Ibu..Bapak..
Aku sedang dalam perjalanan untuk membuat kalian terseyum lebar dengan rasa bangga memiliki aku, saat nanti aku memakai toga. Saat nanti kalian akan memelukku lagi dalam acara wisuda kelulusanku. 
Doakan aku, Bu..Pak..
Aku akan melangkahkan kaki memasuki Gerbang Fakultas Pertanian - Agroteknologi UNPAD dengan rasa syukur dan bermilyar-milyar ucapan terimakasih pada kalian.

Terimakasih..
Hidupku sempurna, hanya karena aku memiliki kalian, Bu..Pa..

2013/03/16

Dilema


Tania memandangi wajah dalam foto itu. Pria yang hampir 3 tahun bersamanya itu kini menghilang begitu saja. Tania tidak hanya menyayangi Andre, ia mengagumi juga semua yang ada pada diri Andre. Baginya, Andre mampu membuatnya jatuh cinta setiap hari. Dan sekarang hidupnya terasa hampa, tanpa hadirnya Andre di harinya.

“ Tan, Andre kemana ?” Doni menghampiri Tania.
“ Aku juga engga tau. Ngga ada kabar.”
“ Aduh, mana kerjaan dia banyak yang udah lewat deadline.”
“ Dia ngga masuk kantor udah berapa lama ?”
“ seminggu. Yaudah deh thanks ya Tan.”
“ seminggu ?” Tania heran. Dua hari yang lalu Andre masih menghubunginya, walaupun ia terasa berbeda. Refleks Tania langsung menghubungi ponsel Andre. Nihil, ponselnya tidak aktif.

“ Nah, kamu pasti galau soal Andre.” Lia menyiapkan makanan di meja makan. “ Ko bisa dia kaya yang ilang ditelan bumi gitu?”
“ ngga usah lebay gitu.” Sahut Tania.
“ Lah ? emang gitu kan ?”
“ Li, aku ngga tau Andre kemana. Dia ngga ngasih tau apapun.” Tania mulai menyendokan makanan ke piringnya.
Tiba – tiba ponsel Tania bergetar.
“ Andre !” Tania langsung menekan tombol hijau di ponselnya itu, menjauh dari meja makan.
“ Andre, kamu kemana aja sih ? Ngga ngasih kabar, ngga bilang apa – apa, aku baru tau juga kamu ngga masuk kantor udah seminggu. Ngga sakit kan, Andre ?”
“ Tania maaf. Kayaknya kita gabisa lanjutin hubungan kita ini. Maaf Tania. Jaga diri kamu ya..” Andre mengatakan itu semua dengan terburu – buru.
Wajah Tania memucat. Telepon itu sudah diputuskan oleh Andre.
Tania kembali ke meja makan dengan lesu. “ Andre mutusin aku..”
Dan sebelum Lia sempat mengucapkan apapun, Tania sudah melangkah ke kamarnya.

Bulan berganti bulan. Andre belum menampakkan dirinya lagi. Dan Tania, masih menunggu Andre. Sejak saat Andre meneleponnya itu, harinya terasa suram.
“ Aku tau susah buat kamu. Andre ilang gitu aja. Tapi ini udah lebih dari delapan bulan kamu kaya gini. Kita juga ngga ada yang tau Andre kemana.”
“ Apa aku kurang care sama dia ? Ko bisa sih dia ngilang gitu aja ? dan aku, ngga bisa nebak dia ada dimana.”
“ kenapa ngga coba tanya mamanya ?” Lia bertanya.
“ Aku..Andre belum pernah ngenalin aku sama mamanya.”
“ Tiga taun pacaran dan kamu ngga tau mamanya Andre ?” Lia menatap Tania tak percaya.
Tania terdiam.
“ Aku ngga ngerti deh. Aku aja yang baru pacaran beberapa bulan tau ko, mama sama papanya pacar aku.”
“ Aku juga ngga ngerti Li..”

Pada jam – jam pagi begini, bus yang biasa ditumpangi Tania memang biasa penuh. Dan itu terjadi begitu saja. Tak sengaja Tania menumpahkan minumannya pada seorang pria, memakai kemeja rapi dan tampak terburu – buru.
“ Ya ampun ! Maaf mas. Saya ngga nyangka bus nya bakalan berenti tiba – tiba gini.”
Pria itu hanya tersenyum, dan mencoba membersihkan kemeja nya yang kini bernoda.
Tania mengeluarkan tisu nya. “ Ini Mas. Saya punya tisu. Barangkali butuh.”
Tanpa berkata apapun pria itu menerima tisu yang di tawarkan oleh Tania.
“ Mas marah ya sama saya ? Maaf ya Mas, maaf banget. Kalo ketemu lagi saya ganti deh bajunya.”
“ ngga perlu ko. Basahnya ngga sampe dalem ko.” Lagi – lagi pria itu tersenyum.
Bus itu mulai melaju lagi. Tania dan pria itu kini bisa duduk, bus sudah mulai kosong.
“ Mau kemana ?” tanya pria itu.
“ Mau ke kantor. Mas sendiri ?”
“ Jangan panggil Mas, berasa udah tua. Saya Tirta.”
“ Iya hehe.” Tania nyengir. “Tirta mau kemana ?”
“ Mau interview. Saya lagi coba cari kerjaan.”
“ Ya ampun. Maaf deh itu berarti saya ngerusak dong. Maaf Tirta.” Tania tampak begitu menyesal.
“ Hahaha santai aja lagi.” Tirta tersenyum, lagi.
Dalam hatinya yang kebingungan, Tania menyadari senyuman Tirta yang begitu, menenangkan.
Sampai bus itu tiba di halte, Tania masih sibuk meminta maaf pada Tirta.
“ udah udah saya bilang juga santai aja. Duluan ya, mba?”
“ Saya Tania.” 
“ Duluan ya Tania.”
Tania juga turun dari bus itu. Tapi begitu ia mencari Tirta, pria itu sudah tak Nampak batang hidungnya.

Tania sedang melamun  di meja kerjanya ketika Tirta berjalan ke arahnya.
“ Heh Mba ngelamun mulu, ntar kesambet.”
“ Loh ? Tirta ? jadi, kamu mau interview disini ?”
“ udah beres interviewnya. Hmm.. ini sekarang harusnya sih jadi meja kerja saya.”
“ Maksudnya ?”
“ Ya maksudnya saya keterima buat kerja disini. Dan mulai sekarang kamu bisa bagi – bagi kerjaan kamu sama saya. Meja di samping kamu kosong kan ? itu bakal jadi meja saya.”
Tania hanya melongo mendengarnya.
“ Saya kira anda pendiam.”
Tirta tersenyum, lagi. “ jangan menilai dari luarnya saja.”

Hari berganti hari, Tania dan Tirta semakin menjadi dekat. Karena tuntutan pekerjaan, atau karena hati yang memaksa. Tirta yang kebetulan rumahnya searah dengan rumah kontrakan Tania, sering mengajak Tania pulang bersama.

“ Tirta. Kenapa waktu itu kamu ngelamar kerjaan di sini ?” Tanya Tania pada suatu sore, saat Tirta mengantar Tania pulang.
“ karena diperusahaan yang dulu aku ngerasa ngga nyaman.”
“ mengundurkan diri dari perusahaan sebelumnya. Gitu ?”
“ bukan, perusahaan itu milik papa aku. Dan aku ngerasa kalo ngga adil, aku kerja disana dan langsung dapet jabatan tinggi. Aku ngga suka yang begitu.”
“ ooh. Aku baru tau.”
“ nah kan dulu kamu bilang, kalo ketemu lagi bakal gantiin baju aku itu.”
“ hahaha masih inget ?” Tania tertawa. Lesung pipinya membuat Tirta betah memandang Tania lama - lama.
“Masih laah.” Wajah jahil Tirta menggoda Tania.
“ oke, jadi aku bakal ganti baju yang kamu pake pas ngelamar kerjaan itu. tunggu ya.”
“ iya, bajunya nanti bakal aku pake buat ngelamar lagi."
" loh? mau ninggalin aku?" ucap Tania, suaranya terdengar kecewa.
" Ngelamar kamu, ke orang tua kamu.” Tirta tersenyum.
“ Becanda nya bisaaaa aja ya.” Tania berusaha menanggapi dengan santai, ada perasaan lega karena Tirta tidak berencana untuk pindah ke tempat lain. Namun hatinya sudah dag dig dug tak karuan karena ucapan Tirta itu.
“ aku engga becanda. Mungkin kecepetan kali ya buat kamu..”
“ Tirta..aku..”
“ aku sayang sama kamu, Tania.” Tirta menatap lurus pada Tania. Ini udah bulan ke lima kita bareng, dan aku udah tau apa yang aku rasain. Kita udah dewasa dan aku pikir pacaran itu Cuma buat anak kecil. Ya walaupun ini terkesan terburu – buru tapi aku mohon kamu pikirin ini semua. Ngga harus sekarang Tan kamu jawabnya. Dan bukan berarti kita langsung nikah gitu, aku cuma pengen lebih serius sama kamu.”
Tirta membukakan pintu mobilnya untuk Tania.

Dikamarnya Tania memikirkan hal itu. Juga,memikirkan Andre. Tania sendiri sadar kalau dirinya sudah tak sesering dulu memikirkan Andre. Namun kali ini, ia benar – benar tak tahu harus bagaimana. Ia tau, Tirta tak sekedar teman kerja baginya. Ia juga tau, kalau ia tertarik pada Tirta. Tapi jauh di dalam hati Tania, masih terselip keinginan untuk bersama Andre. Andre, yang tak tahu pergi kemana. Andre yang tiba – tiba hilang. Andre yang hanya mengucapkan selamat tinggal dengan singkat. Tania sudah membulak – balikan badannya. Ia ragu apakah benar ia menyayangi Tirta ? Apa hanya sekedar tertarik ? Tapi Tania juga tahu, tak ada guna nya mengharapkan Andre. Ia berhak bahagia, dengan siapapun. Tania memejamkan mata, dan esok ia siap menjawab pertanyaan Tirta yang akan membawanya pada bahagia.

Esoknya Tania benar  - benar terkejut. Ada seseorang yang menunggunya di ruang tamu. Andre.
“ Kamu mau apa kesini?”
“ Tania..”
“ Kamu ngga tau kan gimana paniknya aku! Kamu ngga tau kan gimana aku khawatir sama keadaan kamu! Kamu juga ngga tau aku selama ini selalu berusaha buat cari kamu! Dan kamu ngga tau, aku begitu tersiksa karena kamu pergi dengan mudahnya.” Tania tak dapat menahan airmatanya.
“ aku kesini mau minta maaf sama kamu Tania..” ujarAndre pelan.
“ MAAF ? Apa kamu kira cukup dengan kamu datang kesini sepagi ini dan kamu Cuma bilang maaf?”
“ boleh aku menjelaskan sesuatu, Tania ?”
“ terserah. Aku ngga akan dengerin.”
“ ngga masalah.” Andre menghembuskan nafasnya dengan keras. “aku tau dulu itu aku salah. Salah besar. Waktu itu aku bener – bener shock liat papa selingkuh, aku mergokin sendiri Tan. Dan gatau gimana mama tau soal papa selingkuh, akhirnya mama jadi sakit.”
Andre mengacak – acak rambutnya, terlihat marah pada dirinya sendiri “Waktu itu keadaan aku lagi ngga stabil banget Tan! Dan aku juga gatau gimana bisa dengan gampangnya mutusin kamu. Aku nyesel Tan..”
“Terus kenapa kamu ngga bilang? Kamu kira aku Cuma bakal nambah beban kamu? Aku bisa bantu kamu!”
“Aku malu buat ngakuin ini semua sama kamu Tan. Aku juga takut kamu jadi enggan sama aku yang papa nya tukang selingkuh.” Andre mendekat dan memegang tangan Tania. “Aku janji, sekarang aku ngga akan kaya gitu lagi. Kamu mau kan jadi pacar aku lagi?”
Tania menunduk, hati dan pikirannya berlomba untuk sebuah keputusan. Ia tak bisa memungkiri genggaman tangan Andre ini masih menghangatkan hatinya. Tubuhnya juga masih merasakan hal yang sama jika ia bersentuhan dengan Andre.
“Kemana aja kamu selama ini, Andre?” tanya Tania pelan.
“Aku ngobatin mama kesana – kesini Tan, aku pengen mama sem…”
“Andre..” perkataan Andre dipotong oleh Tania. “Aku tau kamu pergi ninggalin aku buat hal yang sangat baik. Tapi apa kamu tau? Gimana aku kehilangan kamu? Gimana aku ngerasa..setelah kamu pergi aku jadi ngga hidup? Gimana aku ngga pengen ngejalanin hari – hari aku lagi?”
“Aku minta maaf, Tania. Andai kamu ngerti aku dulu gimana.” Tania merasakan genggaman di tangannya semakin kuat.
“Andai kamu mau lebih terbuka dan cerita, Andre.”
Mereka berdua terdiam. Andre masih menggenggam tangan Tania.
“Aku minta maaf, Andre. Aku rasa kita ngga bisa nerusin yang waktu itu.” perlahan Tania menarik tangannya.
“Aku sudah memiliki seseorang yang sayang sama aku. Dan aku yakin, dia percaya sama  aku. Aku yakin dia mau menceritakan segala yang menjadi bebannya, karena dia bisa percaya, aku bakal ngelakuin apapun yang aku bisa buat orang yang berarti buat aku. Dia percaya aku bisa bikin dia tenang dan bakal tetep ada disamping dia bagaimanapun lingkungannya. Karena yang aku sayang dia, bukan yang lain. Maafin aku, Andre.”



Malaikat Tak Bersayap

Baru kali ini aku berdekatan dengannya, sebelumnya aku hanya melihatnya selewat. Itupun baru beberapa minggu terakhir ini, mungkin dia orang baru disini.
Dia duduk tepat disampingku, dan melihat kearahku. Dan entahlah, aku tak tahu harus berbuat apa.
Tapi ia tak mengatakan apapun, hanya duduk disampingku.
Ya, hari ini kantorku mengadakan rapat tahunan yang harus dihadiri oleh seluruh karyawan. Rapat ini menghabiskan waktu seharian. Dan betapa bahagianya aku ketika rapat ini selesai, aku bisa segera pulang kerumah, mengurung diri dikamar, melepas segala beban.

"Nomer hape kamu berapa? Biar aku save." perkataannya mengagetkanku.
"Oh iya. Ini." terkejut, aku langsung menyebutkan beberapa digit angka.
"Aku sms ya." ujar dia lagi.
"Orang baru ya disini?" 
Mengalihkan pandangan dari ponselnya dan menatapku, ia terlihat heran. Kemudian dengan cengiran singkat ia menjawab, "Engga ko. Beda bagian sih emang, jadi kita mungkin ngga pernah ketemu. Aku Aditya"
"Calista." aku tersenyum.

Entah bagaimana, sejak saat itu kita sering bertemu. Kita juga sering berkirim pesan singkat, hanya obrolan ringan memang. Dan aku menyadari kalau kita mudah beradaptasi satu sama lain, juga kita mudah menjadi dekat, seperti sudah lama saling mengenal.

"Lagi ada masalah ya? Cerita bisa kali :p"
Pesan singkat darinya membuatku tertegun. Haruskah aku menceritakan masalahku ini padanya? Dia datang saat aku benar-benar membutuhkan seseorang untuk mendengarkanku, dan dia ada seperti aku memang harus mencurahkan perasaanku padanya.
"Aku boleh curhat?" tanyaku
"Silakan :)"
Akhirnya aku menceritakan segalanya. Bagaimana kalutnya perasaanku saat ini. Bagaimana aku yang bingung harus bertindak seperti apa. Bagaimana aku yang begitu takut jika pada akhirnya papa dan mama memutuskan untuk benar-benar berpisah. Ia menanggapi segala curhatanku dengan sikap yang tepat, ia tahu kapan ia hanya mendengarkan dan kapan ia harus menanggapi. Setelah selesai, aku heran pada diriku sendiri yang bisa menceritakan masalah seperti ini, kepada orang yang belum lama aku kenal.

Bulan-bulan berlalu, dan hari ini segalanya tampak hampir membunuhku. Papa-mama benar-benar berpisah, untuk selamanya takkan hidup bersama kembali. Aku, sebagai anak tunggal tak tahu harus menangis kepada siapa, dan tiba-tiba dia ada disitu. Aditya. Mengulurkan tangannya, menyediakan bahu nya untuk aku basahi dengan air mata. 
Aku tak tahu sudah berapa hari aku diam-diam menangis di meja kerjaku. Dan aku juga tak tahu sudah berapa kali ia kabur dari pekerjaannya untuk sekedar mengusap-usap punggungku.
Aku tak tahu.
Sampai akhirnya aku mulai bisa menerima kenyataan. Aku sudah tidak menangis di tengah-tengah pekerjaanku. Walaupun ia masih selalu menengokku untuk memastikan aku baik-baik saja.
Dan aku tahu, kalau Aditya memang dikirim oleh Tuhan untukku, agar aku bisa menghadapi semua ini. Aku merasa dia sebagai penyelamatku, malaikat tak bersayap milikku.

"Hari ini pulang sama siapa?" 
"Sendiri lah Dit, kaya biasa. Lagian mau sama siapa?" aku tertawa.
"Tapi kan ini udah jam delapan malem ta."
"Aku pake taksi ko." 
Ia memandangku, mata nya menyorotkan ketidakyakinan. 
"Udah lah, sama aku aja. Sekalian aku mau ada perlu. Tunggu disini, aku bawa motor aku dulu."
Ia menyerahkan satu helm dan jaketnya. Aku mengenakannya. Dan kemudian motornya melaju meninggalkan halaman parkir kantor kami.
"Rumah kamu disebelah mana ta?"
"Jalan Melati, nomer 5 Dit."
"Ngga ada perlu apa-apa lagi kan? Kita langsung kesana ya.."
"Loh? Katanya kamu ada perlu makanya mau lewat sini?" Aku mendekatkan badanku kepadanya, agar suaraku bisa lebih jelas terdengar olehnya.
"Hmm, engga jadi deh ngga apa-apa lagian udah tutup kalau malem." Mungkin hanya perasaanku, tapi aku merasa ia salah tingkah.
"Loh?"
Di perjalanan ini, entah bagaimana aku merasa ada banyak kupu-kupu di perutku. Aku merasakan gelenyar aneh yang dirasakan oleh tubuhku. Dan aku menyukai sensasi ini.

Seperti alam ikut bekerja sama, kini segala hal tampak membuat aku berada terus disampingnya. Tiba-tiba saja aku dan dia ditempatkan di bagian yang sama untuk sebuah acara besar yang diadakan kantorku. Itu membuat aku seakan harus terus bersamanya. Kini makan bersamanya sudah menjadi sebuah kebiasaan, baik untuk sarapan, makan siang ataupun makan malam. Hampir setiap pagi Aditya datang kerumahku, untuk sarapan bersama sekalian menjemputku. Aku sendiri senang karenanya. Mama dan papa tampak tak mau menempati rumah ini lagi, jadi aku sendiri disini. Rasa nyaman dan rasa tak mau kehilangan semakin menguasai perasaanku.

Ternyata hampir 10 bulan kami saling mengenal. Kami memang dekat, tapi ya hanya sekedar dekat. Aku tak bisa berbohong, terkadang aku mengharapkan sesuatu yang lebih daripada ini. Terkadang juga, aku takut perasaan ini hanya satu arah.

Hingga akhirnya aku bertemu hari ini. Sudah beberapa minggu aku merasa dia berbeda. Dia tampak lebih berseri-seri daripada sebelumnya. Dia juga terlihat lebih bersemangat. Aku takut, dia jatuh cinta.
Sore ini aku bertemu dengannya, di tempat biasa kita makan bersama. Dan oksigen seakan menghilang, sangat sulit untuk aku menarik napas. Otakku terasa macet, dan mataku panas. Aku melihatnya menggandeng perempuan itu, perempuan yang tak begitu kukenal. Aku buru-buru menghapus airmata yang mulai memenuhi pelupuk mataku saat ia mendekat.
"Hai" wajahnya memerah saat ia menyapaku.
"Apaan itu muka pake merah segala? Sok imut gitu!" aku tertawa, ya berusaha tertawa dengan wajar lebih tepatnya.
Dia duduk tepat didepanku, tersenyum salah tingkah, juga terlihat malu. Aku balas terseyum padanya. 
"Kenalin, ini...." 
Dia mengenalkan perempuan itu padaku. Tapi telingaku seperti tak berfungsi, telingaku menolak mendengar apapun yang ia katakan. Aku hanya mampu mengangguk dan tersenyum saat..tampaknya, ia berpamitan padaku. Aku melihatnya menggandeng perempuan itu lagi, dan akhirnya menghilang dari pandanganku.

Malaikat tak bersayap milikku sudah memiliki sayap sekarang. Ia sudah terbang menyusuri jalan hidupnya sendiri. Berbahagialah bersamanya. Mungkin selama ini memang hanya aku yang terlalu banyak berharap dan menganggap lebih segalanya. Karena dekat, bukan berarti harus selalu mengarah pada hubungan yang lebih serius. Terimakasih, dulu pernah menyelamatkan hidupku.

2013/03/12

Langit, aku jatuh cinta

Kamu tau apa yang paling aku suka ?
Aku jatuh cinta pada langit dan awan yang menghiasinya.
Pada gunung - gunung dan sawah - sawah yang terlihat lebih menawan saat di latar belakangi langit biru.
Sawah, gunung, langit dan awan adalah lukisan paling indah yang pernah aku lihat.
Aku juga suka udara pagi, yang akan selalu tercium saat aku membuka jendela kamarku.
Udara pagi yang selalu menyuntikan semangat.

Aku cinta pada langit pagi.
Dengan matahari yang masih belum sepenuhnya muncul.
Indah.
Langit pagi selalu berhasil mengatakan padaku agar aku siap menjalani hariku. Dengan hati yang tenang dan ucapan Bismillah. 
Langit pagi selalu menemaniku memulai hariku.

Dan aku juga cinta pada langit sore.
Semburat jingga nya selalu tampak megah.
Dan seringkali aku mendengar langit sore berbisik agar aku mensyukuri segala yang telah terjadi di hari itu.
Langit sore selalu menemaniku menutup hariku.

Aku jatuh cinta pada langit.
Langit selalu sukses membuat bibir ini melengkung keatas, terseyum dengan perasaan yang sulit di definisikan oleh lisan. Aku hanya, takjub oleh lukisan yang sangat indah.

2013/03/11

Disney ~

Udah seharusnya kita berterimakasih sama Walt Disney yang udah melahirkan banyak tokoh.
I love Disney. Yeah I Love It more than I Love drama or another movie.
Aku lebih sering cari info soal film-film Disney. Aku juga ngga ngerti kenapa di umur yang segini masih kaya begitu. Malah, film-film yang ada di 'umurku' aku gatau. Kaya Rectoverso yang aku denger, yang ternyata sebuah film. Aku tau film ya kalo udah diceritain sama orang lain. Kasian ngga sih ?
Tontonan aku juga sehari-harinya ya kartun. Masangnya Disney Junior, Cartoon Network, atau Nickelodeon. Sampe ibu sering nanya ' teh ini kembar yang nonton ? Apa teteh ? ' 
Kalo ke toko buku, selain ke rak novel, ya aku pasti dateng ke rak ' cerita anak ' tapi kadang suka kesel sendiri, bukunya ngga ada yang tebel kalo disitu :| pernah aku nemu buku ' kisah pengantar tidur ' udah pengen beli, itu dalemnya kisah-kisah Cinderella, Snow White ya begituan deh tapi gajadi begitu liat harganya :|
Dan aku masih berharap suatu saat ada yang mau ngasih aku dvd-dvd disney ! Kenapa ga beli sendiri ? Ya karena aku mikir aku punya kebutuhan yang laen yang harus diduluin.
Cerita cerita Disney itu indah. Ngga ribet kaya film-film melow, ngga sadis kaya film-film yang ada bacok-bacokannya. Aku nontonnya juga gaperlu tutup-tutup mata kaya pas nonton The Raid ! Tapi cerita Disney selalu bisa bikin degdegan dan bikin terharu ko.
Liat yang cerita Disney Princess. selalu ada putrinya, pangerannya, sama nenek sihir atau ibu tiri atau ya pokonya pihak jahatnya. Tapi akhirnya selalu bahagia. Dan aku jadi belajar kalo emang tiap manusia diciptain tuh ada pasangannya. Manusia juga gabisa gitu aja bahagia. Harus ada jatoh dan sakitnya. Gimana bisa tau bahagia itu apa kalo ngga pernah sedih. Yakan ? Terus ya emang namanya film anak-anak cerita nya ya ngga ribet, ngga lebay. Malah kadang ada sesuatu yang ajaib, yang di dunia nyata gabakal ada. Imajinasi kamu bisa terbang kesana sini. Dan kalo aku lagi nonton kaya begituan, ya I fin my self
This why, I really love Disney Story..

2013/03/10

Ini ceritamu, Nayla


Aku bahagia mendengar cerita Nayla. Senyum yang tak bisa ia tahan dan pancaran sinar dari matanya saat ia menceritakan teman barunya, Angga. Mampu membuatku ikut tersenyum. Aku senang melihat sahabatku senang. Iya, malah kadang jadi aku yang lebih bersemangat.

Hari ini aku menemani Nayla di sekolah. Nayla menunggu Angga yang mengatakan akan mengantarnya pulang. Aku sendiri, menunggu waktu untuk pergi les. Nayla tampak begitu bahagia, syukurlah kalau ia sudah mulai bisa melupakan mantan kekasihnya.

“ Kamu tau ? Angga itu baik banget. Dan dia bodor. Iya tingkahnya selalu bisa bikin aku ketawa. Konyol deh pokoknya.” Nayla mengatakan itu dengan wajah yang benar – benar sumingrah. Aku sampai kaget dibuatnya, sebelumnya ia tak pernah seperti ini. Dan tiba – tiba Angga datang. Aku dengan senang menyingkir dari situ, dari ujung mataku terlihat mereka yang sedang dimabuk asmara.

Aku juga senang membaca curhatan – curhatan Nayla di tumblrnya. Terlihat dengan jelas kalau ia menikmati keadaannya yang sekarang. Walaupun ia tak bisa mengelak, ia cemas dengan perpisahan yang sebentar lagi akan terjadi. Jarak akan memisahkan mereka. Nayla dan Angga sebisa mungkin berharap dan berusaha, agar jarak tak akan memotong tali yang mengikat mereka.

“ sikapnya beda banget sama mantan aku dulu, dan itu bikin aku seneng. Cara dia memperlakuin aku tuh beda.” Nayla mengatakan ini padaku. Memang menyenangkan saat ada yang memperlakukan kita dengan manis, apalagi dia memiliki sesuatu yang sangat berbeda dengan yang pernah diberi oleh kekasih kita dulu. Seperti, memiliki kehidupan yang baru.
Namun ada beberapa momen yang membuat Nayla sedih. Mantan kekasih Angga yang sampai sekarang, tampaknya masih begitu menyukai Angga. Mantan kekasihnya yang tak berhenti mengoceh di media sosial kian mengganggunya.

“ sekali dua kali dia ngomongin aku di twitter, ya aku diem. Ke tiga kali ? emang ngga sakit apa digituin ?” Air mata Nayla yang mulai menetes membuatku kesal.

 Apa yang dipikirkan oleh mantan kekasihnya itu ? Berbicara segala macam tentang Nayla dan Angga, seperti dia yang paling benar saja ! Jika sudah menjadi ‘ Cuma teman ‘ dia sudah tak punya hak untuk bertingkah seperti itu. Apalagi ini sudah lama dari sejak mereka memutuskan hubungan itu. Sindiran – sindiran nya juga tak seharusnya ia lontarkan.

“ kayak yang salah banget ya aku deket sama Angga tuh.” Nayla bertanya, dengan isakan yang masih terdengar.
“ Nayla engga salah. Dan kamu ngga boleh bertingkah sama kaya dia. Biarin aja, lama – lama dia yang malu sendiri ko.“
“ tapi aku ngapa-ngapain diketawain sama dia. Sama temen-temannya.”
“ aku pernah ada di posisi mantan pacar Angga itu. Ya aku ngga separah dia yang sampe kaya gini, aku sih jatohnya ya curhat di blog. Aku waktu itu ngerasa kalo diri aku paling bener. Padahal ya aku sadar sekarang, dulu tingkah aku itu salah banget. Buat aku sih ya sekarang yang salah dia, bukan kamu Nayla..” kataku panjang lebar.
Nayla terdiam. “ ngga ada yang bisa disalahin dari orang yang lagi jatuh cinta, Nay” lanjutku.
“ kalau Angga sekarang pilih Nayla, ya harusnya dia sadar. Dan dia mau nerima fakta itu. Dia iri sama kamu.”
“ Angga nyuruh aku buat tutup telinga, mata.. Aku gausah peduliin dia, kayak Angga yang udah ga peduli. Ini cerita kita, yaudah kita yang jalanin, gausah ada yang hancurin. Gitu kata Angga.”
“ Nah, ya emang harus gitu. Ini cerita kalian, kalian tokoh utama nya. Kalo tiba – tiba ada tokoh antagonis ya kita harus nerima, suatu cerita ngga akan rame kalo ngga ada yang jahat. Kaya Snow White, kalo dia ngga dikasih apel beracun, cerita nya ngga akan sebagus itu.”

Memang tidak ada jalan yang mulus, pasti ada lubang – lubang yang memperlambat jalan kita. Tapi asalkan kita bersabar untuk melewatinya, aku yakin kita bakal puas sama segala sesuatu yang udah kita capai. Nayla, yang sabar ya kamu. Aku tau ini susah buat kamu, susah buat kamu ngga peduli sama tingkah mantan kekasihnya. Tapi ya percaya aja, kalau hubungan ngga ada rintangannya, berarti itu hubungan yang salah. Karena, buat kamu bahagia, harus ada hal – hal yang bikin kamu terluka dulu. Kamu harus berjuang dulu buat segalanya. Aku tau kamu pasti bakal lebih bahagia dari sekarang kalo kamu mampu ngelewatin ini.

I wish dabes for you, Nayla

2013/03/06

Karena cinta, bukan tentang baik atau tidak baik...

Karen mendengus kesal. Lagi-lagi ia berhadapan dengan Tio, laki-laki yang paling engga ia temui.
" kan gue udah bilang engga !" suara Karen mengalahkan suara hujan di halte itu.
"aku cuma pengen nganter kamu pulang, daripada kamu nunggu bus lama." Tio menyodorkan payung yang ia bawa. Karen tetap diam.
"ayo" ajak Tio lagi.
Karen melihat jam tangannya, jarum panjang sudah menuju angka enam. Akhirnya, dengan terpaksa Karen mengambil payung itu, dan berjalan menuju mobil Tio.
"lo tau dari mana sih gue ada di halte?"
"aku tau kebiasaan kamu." 
"terus ngapain pake jemput segala sih?" Karen menatap Tio kesal.
"dari dulu aku bilang, semua yang aku lakuin ya karena aku cinta sama kamu." Tio membalas tatapan Karen.
"iya dan lo juga tau, gue lebih milih dia daripada lo."
"dia? Yang ngga mau luangin waktu buat jemput kamu? Meskipun dia tau cewenya terjebak hujan dan udah sore gini?"
"Dia emang lagi gabisa..."
"Bukan gabisa, tapi emang dia gamau. Dan kamu tau itu."
Karen terdiam. Tak bisa membalas perkataan Tio.
"Tapi aku juga tau, kamu ga akan pernah milih aku." lanjut Tio
"Berarti lo gapunya alasan buat tetep cinta sama gue"
"Sejak kapan cinta butuh alasan buat tetep tinggal disini ?"
Karen memalingkan wajahnya, menatap hujan dari balik jendela. Terjebak dalam keheningan yang panjang, hingga akhirnya ia berkata
"Gue tau lo jauh lebih baik daripada dia. Gue tau lo selalu ada kalo gue butuh sesuatu. Gue tau lo mau ngelakuin apapun buat gue. Tapi ya gue cinta nya sama dia. Kaya yang lo bilang tadi, cinta ga butuh alasan. Dan gabisa dipaksain. Gue ngga mau sama lo dan tetep sama dia bukan karena lo ngga baik, ya karena gue ngga cinta. Karena dia yang dipilih sama hati gue, bukan lo."
"Tapi dia ngga baik, ngga cinta sama kamu.."
"Gue ngga tau. Tapi dia ngga seburuk yang lo pikirin. Gue pacaran sama dia, kaya orang lain yang pacaran aja, normal. Gue ngga ngejar-ngejar, dia pun sama. Kita saling ngasih. Gue tau dan bisa rasain sayang, perhatian, khawatir dan segala macemnya dari dia. Tapi emang dia ngga sebaik lo. Malah kadang lo lebih perhatian gini. Cinta bukan tentang baik atau tidaknya seseorang. Tapi tentang bagaimana orang itu membuat kita merasa kalau hidup kita buat dia, walaupun yang dia lakuin belum tentu sebaik yang orang lain lakuin."
"Jadi, maksud kamu, kamu udah cukup sama dia aja. Walaupun dia kaya gitu?" tanya Tio
"Gue ngga ngerasa cukup sebenernya. Ya namanya manusia, susah buat ngerasa cukup. Tapi ya dia tetep dipilih sama hati gue, meskipun gue tau ada yang jauuuuh lebih baik. Ya gue ga peduli orang lain yang lebih segalanya daripada dia. Cinta ya gini, susah buat lo ngertinya. Dan gue tau, gue cinta sama dia. Karena, cukup gue liat dia doang, gue bahagia."
Mobil Tio berhenti di depan rumah Karen, percakapan mereka berhenti sampai disitu.
"Thanks ya." Karen membuka pintu mobil Tio.
" I love you " ujar Tio pelan.
Karen berbalik lalu memandang Tio, tersenyum dan melangkah masuk kerumahnya.

2013/02/21

Mimpi

" masih bangun?" pemberitahuan Whatsapp masuk di hape Alisa mengagetkannya.
" masiiiih" jawab Alisa
" kenapa belom tidur?"
" belom pengen. Kamu juga belom tidur."
" males tidur."
" kobisa sih males tidur :)))"
" ini aku bisa. aku belom siap ngadepin mimpi."
" aku juga deh. Gasiap ngadepin mimpi.mau yang real aja"
" ih ngikutin :("
" gasiap soalnya kalo mimpi nya bagus terus takut nyesek pas bangun realnya ngga sebagus mimpi :("
" makanya berdoa dulu sebelom tidur" 

Percakapan singkat malam itu, membuat Alisa tak henti berpikir. 
"Kalo setiap malam aku selalu menyebut nama kamu, bagaimana bisa kau tak hadir dalam mimpiku? Itu yang membuat aku takut untuk tidur dan bermimpi."

" semalem tidur ? Akhirnya berani bermimpi." 
" aku kan butuh tidur.." Alisa menjawab
" ya berarti butuh mimpi"
" gitu ya. Bukan karena kepaksa?"
" aku yakin. Kamu sekarang lagi mikirin harapan kamu, soal apa yang pengen kamu mimpiin."
" bahagia." Alisa memejamkan matanya.
" nah kan bener ! " 
" tapi, aku takut. Kalo apa yang aku mimpiin ngga sesuai sama yang aku harapkan"
" kalo ngga sesuai, cari mimpi kamu yang lain. Masih banyak hal yang bisa kamu mimpiin."

Alisa terdiam. Mengutuki hatinya yang masih berharap akan mimpi yang sama. 



Petak Umpet

Hujan masih deras, dan Resy masih menangis. Dipeluknya boneka kesayangannya itu. Tiba-tiba anak laki- laki  itu mendekat.
" Resy. Ayo pulang."
Resy hanya menggelengkan kepalanya.
" nanti sakit loh. Nih aku bawa payung."
Resy tetap diam ditempatnya.
"yaudah. Kalo Resy gamau pulang, aku juga disini nemenin Resy."
Keduanya terdiam di taman kompleks itu. Diwarnai hujan dan isak tangis Resy.
" Resy duduk yu. Cape loh berdiri terus."
Anak laki-laki itu menuntun Resy menuju bangku terdekat.
" kamu kenapa?" anak laki-laki itu, tak mudah putus asa.
" aku gamau pulang. Nanti kalo ketauan main hujan-hujanan dimarahin mama"
" terus kenapa malah hujan-hujanan?"
" aku lagi maen petak umpet." Resy menundukan kepalanya.
" jadi mau nunggu sampe kapan?"
" sampe bajunya kering. Kalo ada matahari kan baju nya pasti kering."
" kamu bego ya ? Sekarang kan hujan, mana ada matahari." anak laki-laki itu tertawa mendengar ucapan Resy.
Wajah Resy kini memerah " kamu nakal. Kata mama gaboleh bilang bego!"
" kamu lebih nakal. Kata mama aku kalo baju basah terus dipake bisa bikin demam. Nanti kamu demam loh"
" yaudah aku pulang. Tapi janji ya, kamu bilang sama mama. Aku keujanan itu gara-gara kamu !" 
Anak laki-laki itu akhirnya mengantar Resy pulang kerumahnya. Tapi Resy beruntung, saat itu mamanya belum pulang dari kantornya. Anak laki-laki itu langsung berbalik sebelum Resy sempat menutup pintu.
" heh ! Nama kamu siapa ? Ko aku baru liat ?" Resy berteriak, tapi anak laki-laki itu sudah tak mendengar. Suara Resy dikalahkan oleh gemuruh hujan.
Setelah hari itu, Resy selalu mencari anak laki-laki itu. Tapi anak laki-laki itu tak kunjung datang. Resy selalu berharap anak laki-laki itu akan datang lagi. Memori Resy merekam segala gerak - gerik anak laki-laki itu, berkhayal suatu saat anak laki-laki itu datang lagi dan Resy bisa mengajaknya main petak umpet, dan minta diantar pulang olehnya. Disetiap hujan Resy selalu menunggu anak laki-laki itu, tapi nihil.
5 tahun..10 tahun berlalu..
Mungkin anak laki-laki itu hanyalah fantasi di pikiran Resy. Tokoh fiksi karangan Resy. Resy tak lagi mencari dan menunggu anak laki-laki itu. Iya, mungkin memang waktu yang dapat menghapuskan ingatan akan seseorang.

" 20...19...18...17...16..." Resy menghitung mundur. Ia lagi -lagi mendapat giliran jaga.

Langit semakin gelap. Rintik-rintik hujan mulai turun. Resy yang asyik menghitung tak menyadari hal ini. 

" 5...4...3...2...1 ! Hayo ! Kaka bakal nemuin kalian semua !" Resy berteriak. 
Namun langit semakin memberontak. Hujan deras disertai angin membuat Resy bingung mencari tempat berlindung. Akhirnya ia berlari ke arah pos satpam yang kosong. 

" Resy. Ayo pulang."
Resy terkejut. Namun dengan segera itu menutupi keterkejutannya itu.
" siapa ya ? Ko tau aku ?"
" aku denger aja, ada yang manggil Resy ke kamu."
" gitu doang?"
" gitu doang."
" kalo ternyata bukan manggil aku ?"
" toh kamu nyaut dipanggil Resy" Ia menjawab dengan santai. " ayo pulang, rambut kamu udah basah tuh.. Ntar sakit loh"
" Ngga. Ini kan hujan. Gimana mau pulang."
" kenapa hujan - hujan ada disini?"
" lagi maen petak umpet." jawab Resy
" seumur kamu ? Masih maen petak umpet ?" Ia menatap tak percaya.
" ya, sama anak - anak kecil sih"
" oh.."
" loh ? Tadi kamu bilang kan.. Kamu.."
" apa ? " laki-laki itu terseyum. Manis.
" kamu siapa ? Orang sini ? Ko belom pernah liat ya ? Mau jahatin aku ya?" tanya Resy bertubi - tubi.
Resy mulai menjauhi laki - laki itu.
" Aku Martin. Bukan copet, bukan maling, bukan pembunuh bayaran. Iya, dulu pernah sekali kesini, kerumah sodara. Ayo pulang. Aku mau nepatin janji aku sama kamu, aku mau bilang sama mama kamu, aku yang bikin kamu hujan-hujanan karena nungguin aku. Sekarang aku udah dateng lagi, bakal selalu lindungin anaknya dari hujan. Dan gabakal bikin anaknya nunggu dan cape berharap.
" ... "

Kedua tangan itu bergandengan, dibawah hujan. Dalam kehangatan yang baru.

2013/02/10

cinta tak berujung ( part 6 ) (end)


“ stay with me ?”
“ yes “
“ forever ?”
“ forever.”

Hari – hari terus berlanjut. Azel kini sedang memerhatikan Kai dari dalam perpustakaan. Kai asyik bermain bola diluar sana tak menyadari ada  yang memperhatikannya. Tangan kiri Azel menggenggam erat benda itu. Tangan kanannya lancar menuliskan sebuah surat.

Selamat sore Kairaz..
Hari ini aku mau menyampaikan rasa terimakasih aku sama kamu. Terimakasih banyak buat semuanya. Terimakasih kamu udah ngasih aku kesempatan buat aku lebih lebih lebih dan lebih baik lagi. Terimakasih banyak !
Aku disini ngga bakal mencoba melupakanmu, menghapusmu, menghilangkanmu baik dari hidupku atau pikiranku. Kamu tetap jadi semangat buat aku. Kamu tetep jadi salah satu motivasi aku biar aku jadi lebih baik.
Aku pernah bermimpi menghabiskan segalanya denganmu. Hidupku, bahagiaku, sedihku. Denganmu. Aku tak akan berbohong. Aku pernah bermimpi aku memejamkan mataku di pelukan hangatmu. Aku pernah bermimpi aku membuka mataku di pagi hari, melihatmu masih terlelap, disampingku. Aku pernah bermimpi setiap pagi aku membuatkanmu susu, dan menyimpannya di meja samping tempat tidur. Aku pernah bermimpi aku menyiapkan segalanya untukmu.  Menghabiskan seluruh waktuku bersamamu. Aku bermimpi cukup jauh ternyata.
Banyak tempat yang pernah kita kunjungi. Dan setiap aku kembali ke tempat itu aku mengenangmu. Banyak pula tempat yang masih menjadi rencana ku denganmu. Aku ingin mengunjungi tempat yang belum pernah kita kunjungi itu denganmu, tapi entah kapan, entah bisa atau tidak.
Aku ngga bakal bisa lupa sama kamu. Kamu udah masuk terlalu jauh ke hidup aku, Kai. Dan setiap orang yang pernah masuk hidup aku, punya tempat masing – masing di hati aku. Dan ngga akan pernah bisa keluar. Salah besar orang yang menyuruhku melupakanmu. Mungkin mereka belum pernah jatuh cinta. Mana bisa aku melupakan kamu ? Aku juga akan terus mencintaimu Kai. Karena cinta tak berujung. Karena tak ada yang bisa menghalangi dan memberhentikan cinta. Pejaman mataku pun tak bisa menghalangi rasa cinta aku sama kamu.
Aku tak akan melupakan apapun. Aku tak akan melupakan mimpi – mimpiku juga. Biarlah aku terus bermimpi. Kita akan berhasil dijalan masing – masing Kai. Mungkin berhubungan satu sama lain, mungkin sama sekali tidak ada hubungannya. Aku akan biarkan semua begini. Selama ini tidak merugikan siapapun. Aku merelakan semua. Aku tak akan melawan takdir. Kau berhak menggapai dan mendapatkan yang kau mau. Aku juga akan berusaha menggapai semua mimpiku. Tapi jika suatu saat kita bertemu, aku akan begitu bahagia. Semoga kita bertemu di kesuksesan kita nanti, dan kita bisa saling berbagi lagi, seperti kemarin. Amin.

                                                                             Love, Azelia

Azel siap untuk masa depannya yang akan menjadi indah. Fokuskan pikiran dan hati untuk kepentingannya sendiri. Untuk kebahagiaannya. Tak terasa, air mata Azel menetes membasahi pipinya. Bayangan Kai masih ada di matanya. Doa untuk Kai takkan lepas dari mulutnya. Tawa bahagia Kai masih jelas terngiang di telinganya. Sentuhan lembut Kai terasa olehnya. Menanti, berharap untuk kebahagiaannya di masa mendatang, bersama Kai. Pikiran dan hatinya melayang menyambut impian.

The world seems so cold
When I face so much all alone
A little scared to move on
And knowing how fast I have grown
And I wonder just where I fit in
Oh the vision alive in my head
Oh yes
I will be
Strong on my own
I will see through the rain
I will find my way
I will keep on traveling down the road
‘til I finally reach my dream
‘til I’m living and I’m breathing my destiny yeah
Yeah ~